Selasa, 26 Mei 2009

PRINSIP-PRINSIP DASAR PANDANGAN ISLAM TENTANG MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam alam profan, terbangun sistim dan paradigm yang menjadi mainstream order social kehidupan manusia. Eksistensi manusia hidup dalam aktualisasi sistim dan paradigm tersebut, sehingga terwujud pola hidup harmoni dalam komunitas sosial. Manusia senantiasa hidup dalam interaksi dan komunikasi, baik secara vertikal maupun horizontal sebagai realisasi proses pematangan kemanusiaan dalam kehidupan sosial.
Manusia sebagai individu selalu berada di tengah-tengah komunitas social yang saling berinteraksi satu sama lain sebagai proses pematangan secara pribadi. Proses dari individu untuk menjadi pribadi, tidak hanya didukung dan dihambat oleh dirinya, tetapi juga didukung dan dihambat oleh kelompok sekitarnya. Manusia tidak terlepas dari ikatan sosial, ikatan emosional, ikatan kultural, dan ikatan intelektual dengan lainnya, sehingga individu menyerap masuk ke dalam komunitas dan merekonstruksi sebuah identitas masyarakat.
Islam sebagai agama sosial, membawa worldview konprehensif dan universal, doktrin humanis–etis, cita peradaban ideal, dituntut menjadi penuntun peradaban. Namun, masyarakat muslim kontemporer seringkali mengalami ‘erosi’ akidah dan stagnan pemikiran, serta kehidupan yang belum tentram. Tampak lemahnya ‘masyarakat sipil’ adalah kutukan besar umat Islam. Penindasan dan stagnasi masih menandai masyarakat muslim. Cita Islam belum merealita dan yang menggejala adalah nilai paradox dengan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Berbagai lini kehidupan muslim di bawah ‘cengkraman’ peradaban luar, integritas, identitas, kepekaan, kebersamaan, komitmen, etos kerja, dan kreativitas mulai redup dalam komunitas sosial. Sikap rasionalitas semakin memudar dalam masyarakat. Perceraian, kekerasan dan perbuatan tak senonoh dalam rumah memperlihatkan bahwa keluarga sebagai institusi sosial menghadapi bahaya kehancuran. Pembunuhan dan kekerasan lainnya, khususnya kekerasan membabi buta, menunjukkan bahwa masyarakat itu sendiri sudah hampir hancur. Sistim dan pranata sosial Islam semakin ‘kabur’ dalam membangun masyarakat berkeadaban (madani).
Umat Islam seringkali dianggap gagal dalam membangun masyarakat yang beradab. Sejumlah tindakan-tindakan permisif muncul, kehilangan nilai-nilai orisinil (Islam), berlaku kasar kepada kaum yang lemah, taat dan patuh tanpa reserve kepada para penguasa atau orang yang berduit (konglomerat), pelit kepada orang-orang fakir dan miskin, menghalalkan penggunaan harta milik umum, menghinakan wanita, lalai terhadap kepentingan umum, serta banyaknya tindakan-tindakan represif di hampir semua lini. Fenomena masyarakat Islam kontemporer berindikasi pada tereduksinya konsep-konsep Islam dalam mengaktualisasikan dalam konteks sosial.
Diskursus tersebut di atas menjadi isu sentral dalam mengkaji kembali konsep normatif dan historis Islam dalam membangun masyarakat yang berkeadaban. Prinsip Islam tentang bangunan masyarakat perlu dianalisis khususnya dalam wacana kontemporer.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berbagai fenomena menarik tentang stereotype masyarakat Islam kontemporer, sehingga berbagai konotasi negatif ditujukan kepada Islam. Hal ini perlu dibahas dalam masalah pokok yaitu bagaimana prinsip-prinsip dasar pandangan Islam tentang masyarakat. Masalah pokok ini dirinci dalam masalah urgen, yaitu:
1. Bagaimana term masyarakat dalam al-Qur’an?
2. Bagaimana prototype masyarakat menurut Islam?

II. PEMBAHASAN
A. Term masyarakat dalam Al-Qur’an
Masyarakat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah, masyarakat menjadi sebuah komunitas dimana manusia berkelompok dan hidup bersama serta membentuk wilayah demografis. Masyarakat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syarikah lalu diserap ke dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Istilah ini tersimpul unsur-unsur pengertian berhubungan dengan pembentukan kelompok atau golongan atau kumpulan. Individu-individu yang berkumpul dan berkelompok bersama karena motivasi, visi, profesi, dedikasi yang sama, dan seterusnya.
Maclver, J.L. Gillin, dan J.P. Gillin sepakat bahwa masyarakat menunjuk pada adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistim adat istiadat tertentu, yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu identitas bersama. Kelanggengan kehidupan masyarakat karena memiliki identitas yang sama, sehingga tidak ada ‘jarak’ dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Thomas Hobbes bahwa masyarakat merupakan hasil dari kontrak social antar individu.
Islam sangat menekankan kehidupan bersama bagi manusia. Manusia perlu menjaga interaksinya dan silaturahim dengan lainnya. Jadi sebelum mengkaji lebih jauh tentang masyarakat, terlebih dahulu akan dikaji term-term kunci masyarakat dalam al-Qur’an. Ada beberapa kata yang menunjuk kepada masyarakat atau kumpulan manusia, antara lain qawm, ummah, sya’b, dan qabail. Di samping itu, al-Qur’an juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala’, al-mustakbirun, al-mustadh’afun, dan lain-lain.
Perujukan masyarakat Madinah sebagai kerangka acuan dalam membangun tatanan masyarakat muslim modern merupakan keharusan. Dengan alasan, masyarakat Madinah adalah umat yang terbaik dalam pandangan Allah. Friman-Nya, dalam QS. Ali Imran (3): 110, yaitu sebagai berikut:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بلمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون باللّه...
Terjemahnya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”

Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya dijelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. Kemudian, Kuntowijoyo menilai term amar ma’ruf adalah sebuah proses humanisasi, nahy munkar adalah liberasi (pembebasan), dan iman kepada Allah adalah transendensi.
Syari’ati menilai ummah adalah ungkapan tentang kumpulan orang, dimana setiap individu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu, agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan. Atas dasar kepemimpinan yang sama. Imamah di sini adalah ungkapan tentang pemberian petunjuk kepada ummah ke tujuan itu, sehingga berkesimpulan, “tidak ada sebutan ummah tanpa adanya imamah”. Kemudian istilah ummah yang berasal dari umm bermakna sebagai kelompok manusia yang berhimpun karena didorong oleh ikatan-ikatan; a) persamaan kepentingan, sifat, dan cita-cita; b) agama; c) wilayah tertentu; d) waktu tertentu.
Kemudian istilah qawm (قوم) dapat ditemukan dalam firman Allah QS. Ar-Ra’d (13): 11, yaitu:
...إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم ...
Terjemahnya:
“…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”

Istilah kaum pada ayat tersebut, dinilai oleh Quraish Shihab sebagai sebuah perubahan yang berbasis sosial, bukan perubahan individu, kemudian kaum merupakan hukum kemasyarakatan yang bersifat universal, pelaku perubahan adalah Allah dan manusia, serta setiap perubahan harus dimulai dengan perubahan sisi dalam masyarakat kemudian Allah memberikan intervensi atas sebuah perubahan. Jadi, term qawm di sini cenderung menunjuk kepada komunitas dalam melakukan perubahan sebagai bentuk kesatuan (unity) dalam masyarakat secara menyeluruh.
Kemudian istilah sya’b dapat dijumpai dalam firman Allah QS. Al-Hujurat (49): 13, yaitu:
يايها الناس إنا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبا ءل لتعارفوااإن أكرمكم عند الله أتقكم إن الله عليم خبير

Terjemahnya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kata sya’b, hanya sekali ditemukan dalam Al-Qur’an, itupun berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, yaitu cabang dan rumpun. Menurut Abu ‘Ubaidah sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab bahwa kata sya’b diartikan kelompok non-Arab, sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab. Istilah sya’ab dan qabilah menunjukkan kelompok masyarakat non-Arab dan orang Arab, tidak ada lebih tinggi dan mulia statusnya kecuali dengan ukuran keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.
Nabi dan Rasul Allah membangun masyarakat yang samawi, yang oleh Muh. Arkoun menamakan pembangunan masyarakat Kitab, yaitu gagasan Wahyu menembus, mencerahkan dan memberi makna pada seluruh realitas konkrit, menjadi representasi peraturan sentral bagi kaum Yahudi, Kristen, dan Islam, dan mendominasi seluruh sejarah masyarakat yang tersentuh oleh gagasan wahyu. Gagasan masyarakat wahyu mampu menembus ruang dan waktu dari ‘sekat’ budaya dan peradaban masyarakat, sehingga model masyarakat alternatif kontemporer adalah masyarakat yang berbasis wahyu.
Namun demikian, masyarakat Islam mengalami kehilangan identitas oleh serangan imperialism. Imperialism menghancurkan semua aspek yang telah mapan dalam masyarakat seperti pertanian, industri, pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan prilaku. Hal ini menjadi tantangan baru bagi masyarakat muslim dalam mewujudkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman mutlak dalam kehidupan bermasyarakat di alam profan.

B. Prototype Masyarakat dalam Tinjauan Islam
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab umumnya terbangun dalam sistim yang kuat, yakni sistim paternalistik dan prestise yang kuat. Sistim kelas sebagai simbol sosial dapat menjadi icon perubahan, walaupun di sisi lain terdapat kelemahan yang signifikan, misalnya sikap egalitarian, liberasi, dan keadilan tidak tumbuh karena sistim sosial yang berpihak pada golongan elit. Hak setiap warga masyarakat terabaikan sehingga kehidupan yang langgeng berpihak kepada penguasa atau orang kuat (elit). Fenomena inilah yang menjadi objek rekonstruksi Islam dalam membangun order social yang berbasis prophetik dan humanis.
Manusia satu dengan lainnya hanya akan membentuk sebuah jamaah (kelompok), dengan dasar pemikiran dan perasaan yang sama, serta diterapkannya peraturan yang sama di komunitasnya. Sebab, yang mewujudkan interaksi antar sesama manusia adalah faktor kemaslahatan dan bila masyarakat telah menyamakan pemikirannya tentang kemaslahatan dan perasaannya, sehingga rasa senang dan bencinya menjadi sama, ditambah pula adanya penerapan peraturan yang sama, yang mampu memecahkan berbagai macam persoalan, maka terbentuklah interaksi antar sesama anggota masyarakat.
Menurut Ernest Renan bahwa komunitas manusia yang besar yang sehat dalam akalnya dan hangat di dalam hatinya membentuk kesadaran moral yang membentuk suatu bangsa. Sepanjang kesadaran tersebut menyatakan diri di dalam kekuatan untuk berkorban yaitu pengabdian seseorang individu untuk kepentingan umum, sepanjang itulah legitimasi akan hak hidupnya suatu bangsa. Kesadaran individu sebagai warga sangat dibutuhkan dalam membentuk masyarakat yang kokoh. Kesadaran ini lahir apabila masyarakat memberikan apresiasi positif terhadap hak dan kewajiban individu.
Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu Islam. Ideologi adalah Weltanchauung, yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi
adalah cara memandang realitas. Di antara realitas penting yang diulas ideologi adalah manusia. Manusia membentuk komunitas atas dasar kesamaan ideologi akan terjadi interaksi dan komunikasi yang efektif. Islam telah memberikan konsep dasar hak dan kewajiban setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Al-Qur’an menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan perbuatan bersama, bahkan kebangkitan, dan kematian bersama. Dari sini lahir gagasan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta fardhu kifayah dalam arti semua anggota masyarakat memikul dosa bila sebagian mereka tidak melaksanakan kewajiban tertentu. Masyarakat yang Qur’ani adalah masyarakat yang satu, yaitu satu dalam strata, satu dalam rasa, satu dalam jaya, satu dalam derita, dan sebagainya. Ikatan emosional dan persaudaran menjadi harapan al-Qur’an dalam membentuk masyarakat yang kuat, kokoh, mandiri, aman, dan sejahtera.
Mempelajari masyarakat berarti dapat berbicara struktur sosial, yaitu dalam hal lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran komunitas, kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenitas, diferensiasi sosial, pelapisan sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial, pengendalian sosial, pola kepemimpinan, ukuran kehidupan, solidaritas sosial, dan nilai atau sistim nilainya. Sistim dan struktur sosial inilah menjadi pembeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain, antara masyarakat maju dan masyarakat terbelakang, antara masyarakat beradab dan masyarakat biadab, dan sebagainya.
Ukuran kriteria suatu masyarakat maju atau terbelakang dan masyarakat beradab atau biadab, ada pada sistim dan struktur sosial yang dibangun. Bozeman menyatakan bahwa peradaban atau kebudayaan mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, dan pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Semakin dekat nilai kemanusiaan dan keilahian peradaban tersebut maka semakin modern dan beradabnya suatu masyarakat. Konteks masyarakat inilah yang dibangun dan diperjuangkan Islam.
Tipologi masyarakat berdasarkan identitas perkembangan peradaban dan kebudayaan terdiri atas dua, yaitu masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional diasumsikan sebagai masyarakat yang konsisten mempertahankan nilai dan kultur Islam, dan tidak terpengaruh dari kebudayaan luar, sedangkan masyarakat modern diasumsikan corak masyarakat yang bentuk kebudayaan dan peradaban mengikuti pola kehidupan, cara, ukuran, dan konsep Barat, termasuk teori, partai, persfektif pemikiran ideologis, dan politiknya. Pemetaan pola masyarakat tersebut lebih tertuju pada corak berpikir dan bertindak. Kemudian dalam masyarakat kontemporer, dikenal klasifikasi masyarakat yaitu masyarakat desa dan masyarakat kota. Ciri masyarakat desa dikonotasikan sebagai masyarakat tradisional, dan masyarakat kota dikonotasikan sebagai masyarakat modern. Klasifikasi masyarakat desa dan masyarakat kota lebih dilihat pada corak struktur dan ikatan sosial.
Masyarakat Islam terbentuk dari sekumpulan manusia, yang diikat oleh pemikiran, perasaan, dan peraturan yang Islami. Inilah yang mewujudkan adanya hubungan dan yang membuat jamaah itu menjadi sebuah masyarakat yang memiliki ciri khas (unik). Kesatuan visi, misi, dan landasan ideologi, umat Islam dengan cepat membangun suatu corak dan sistim masyarakat yang sesuai dan dapat memicu pencapaian cita-citanya. Masyarakat Islam kompak dan integral akan dapat menciptakan kehidupan yang manusiawi, beradab, dan penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan, yang diistilahkan baldatun tayyibatun wa rabbul ghafur.
Akselerasi sains dan globalisasi, transformasi hidup semakin cepat dan melahirkan konsep masyarakat yang unik dan kompleks. Isu demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan, keadilan, persamaan derajat (isu gender), menjadi ‘corong’ bagi penanaman sistim sosial yang kuat dan rasional sehingga lahir istilah civil society (masyarakat sipil). Kekuatan sipil menjadi keharusan dalam membangun masyarakat yang kuat dan harmoni. Rakyatlah yang mengatur sistim dan struktur sosial, memberikan mandat kepada penguasa untuk mengelolah aset dan masyarakat, dan masyarakat dibangun oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al-tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang arti harfiyahnya adalah kota. Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai "masyarakat madani", yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini, agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama ‘menggelinding dalam wacana masyarakat ideal, dan di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil society atau al-mujtama' al-madani. ... Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompok intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingannya. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralism).
Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa intelektual muslim yang berusaha membangun prinsip-prinsip masyarakat madinah di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadina (terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"). Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah agama (dina) yang excellent (paramount) yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban (madani).
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani (attributive dari kata al-Madani). Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah (masyarakat agama dan masyarakat madani) memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Menurut Antonio Rosmini, dikutip oleh Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: (1) Universalitas, (2) Supremasi, (3) Keabadian, (5) Pemerataan kekuatan (prevalence of force), (6) Masyarakat madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" (the common good), (7) sebagai "perimbangan kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu, (8) masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal, (9) Masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan (seigniorial or profit). Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat (a beneficial power), (10) Masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogen.
Masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjaga adab-adab (tata kehidupan)-nya yang masih asli dan tradisinya yang kokoh sebagaimana memelihara (membela) tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar jangan dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak dirampas dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan. Masyarakat Islam dimulai dari kesadaran individu akan hak dan kewajibannya, yakni adanya jiwa patriotism, harga diri, kekayaan atau asset, dan martabat pribadinya. Apabila di dalam masyarakat terdiri dari individu yang sadar hak dan eksistensinya, maka akan lahir masyarakat yang apik, sistemik, dan harmoni.
Masyarakat Qur'ani itu akan tampak pada ketertundukan mereka terhadap supremasi hukum Al-Qur'an. Al-Qur'an meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat muslim. Prinsip-prinsip tersebut adalah justice (keadilan), deliberation (syura), equality (persamaan), dan freedom (kebebasan). Prinsip dasar pembangunan masyarakat tersebut merupakan prinsip dasar universal, sesuai kebutuhan dasar kemanusiaan. Namun, aktualisasi prinsip dasar tersebut memiliki keragaman bentuk sesuai tradisi dan budaya lokal yang mengitarinya, misalnya di Indonesia memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan masyarakat yang ada di Timur Tengah, khususnya dalam sistim pemerintahan.
Ajaran yang diterima Nabi Muhammad Saw. berupa al-Qur’an melalui malaikat Jibril disampaikan kepada semua orang di setiap lapisan masyarakat, sekalipun tidak dengan cara memaksanya. Nabi Muhammad Saw. mengajak melakukan sesuatu dengan cara yang terbaik atau beramal sholeh, serta itu semua harus didasari oleh akhlak yang mulia, atau akhlakul karimah. Hal tersebut sejalan dengan penegasan oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa apabila agama dan akhlak saling memperkukuh satu sama lain, terciptalah kesejahteraan individu dan kesejahteraan masyarakat sekaligus. Kemudian Jalaluddin Rakhmat menyatakan dalam membangun keharmonisan dan ketentraman, internal Islam perlu menanamkan akhlak sosial yang tinggi. Dahulukan akhlak di atas fiqhi, tinggalkan fiqhi untuk memelihara akhlak atau pilihlah fiqh yang lebih memelihara persaudaraan ketimbang fiqhi yang menimbulkan perpecahan. Pemahaman fiqhi seringkali menjadi ‘embrio’ perpecahan internal umat Islam, sedangkan prinsip dasarnya ditinggalkan yaitu persaudaraan dan silaturahmi, dan perbedaan paradigm merupakan keniscayaan.
Kondisi masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah Saw, ditemukan sejumlah karakter yang menonjol, di antaranya integritas kepribadian yang tangguh, rasa ukhuwah (persatuan dan kesatuan) yang amat kuat, kebebasan berpikir yang terkendali, sikap adil dan objektif yang dominan, dan sebagainya. Fenomena masyarakat Madinah yang dibangun Rasulullah Saw, merupakan masyarakat yang pluralis dari segi ras, agama, adat, budaya, dan sebagainya, sehingga perjuangan nilai kemanusiaan mulai terwujud, mobilitas sosial mulai berjalan dengan baik, serta sistim dan struktur sosial terlihat rasional. Komunitas Madinah memiliki tiga ciri, yaitu:
1) Ia memberikan sebuah orientasi yang ideal: seluruh tujuan Muhammad adalah membangung sebuah kehidupan yang saleh (a godly life), dan komunitas menjawabnya sesuai dengan tujuan ini.
2) Ia menyodorkan suatu hubungan pribadi di dalam kelompok tersebut sebagai hamba Tuhan yang bertanggungjawab.
3) Ia menyajikan suatu homoginitas kultural di dalam kelompok.
Sistim sosial yang dibangun Nabi Muhammad memiliki visi yang ideal, dengan berawal dari internalisasi kesalehan individu lalu penanaman kesalehan social, membangun sistim komunikasi vertical dan horizontal yang efektif, dan menyusun aturan universal yang bersifat homogen tapi dapat mengakomodir aspirasi heterogen. Keteraturan dan ketertiban, keadilan, kesejahteran, serta keharmonisan masyarakat adalah suatu prototype masyarakat yang diajarkan oleh Islam.


III. PENUTUP/KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan yang sederhana tersebut, maka dapatlah ditarik titik simpul dari permasalahan yang dikaji, yaitu:
1. Term masyarakat dalam al-Qur’an ditemukan beberapa qawm, ummah, sya’b, qabail, jami’ah, dan seterusnya. Term-term tersebut memiliki makna yang berindikasi pada kolektifitas manusia. Akan tetapi, setiap istilah tersebut mempunyai kandungan makna yang bercirikan tentang situasi dan kondisi masyarakat.
2. Prototype masyarakat menurut Islam terbangun atas prinsip-prinsip keadilan, syura (masyarakat), persamaan, kebebasan, tauhid, universalitas, supremasi, keabadian, pemerataan, keadilan, transparansi, merdeka dan bebas, kebersamaan dan loyalitas, persaudaraan dan kemanusiaan, dan seterusnya. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi kata kunci keberhasilan Rasulullah Saw. dalam membangun masyarakat Madinah.



DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas, Sabtu, 27 Februari 1999
Ahmed, Akbar S., “Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise”, diterjemahkan oleh M. Sirozi dengan judul Posmodernisme– Bahaya dan Harapan bagi Islam, (Cet. I, Bandung: Mizan, 1993)
Arkoun, Mohammaed, “Rethinking Islam Today”, diterjemahkan oleh Ruslani dengan judul Islam Kontemporer–Menuju Dialog Antar Agama, (Cet. II, Yogyakarta: 2005)
Baidan, Nashruddin, Tafsir Maudhu’I–Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kontemporer, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Campbell, Tom, Seven Theories of Human Society, (London: Oxford University Press, 1981)
Dahrendorf, Ralf, Life Chances–Approaches to Social and Political Theory, (Chicago: University of Chicago, 1979)
Darmansyah M., Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional, t.th)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Fazlurrahman, Major Themes of the Qur'an, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980)
Francis Fukuyama, “The Great Disruption–Human Nature and the Reconstitution of Social Order”, diterjemahkan oleh Masri Maris dengan judul Guncangan Besar–Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, (Cet. I, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2005)
Gazalba, Sidi, Masyarakat Islam–Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Cet. II, Jakarta: Bulan Bintang, 1989)
Hidayat, Komaruddin, Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Tanggal, 25-26 September 1998
Hodgson, Marshall G.S., “The Venture of Islam – Conscience and History in a World Civilization”, diterjemahkan oleh Mulyadri Kartanegara dengan judul The Venture of Islam – Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jilid I, Buku Kedua, (Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2002)
http://gaulislam.com/Konsep Civil Society dalam Konsep Islam – Sebuah Tinjauan Edeologis/05/04/09.
Huntington, Samuel P., “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, diterjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Cet. V, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002)
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Cet. I, t.t.p.: Salahuddin Press kerja sama Pustaka Pelajar, 1994)
Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Kebudayaan dan peradaban Ulumul Qur’an, no. 2/ VII/ 1996
Mufid, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang", Tanggal, 25-26 September 1998
Nurdin, Ali, dkk., Qur’anic Society–Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, (Surabaya: Erlangga, 2006)
Okbah, Farid Akhmad, Cita-Cita Islam dalam Membentuk Masyarakat Qur'ani, diposting dalam http::/alislamu.com/05/04/09
Qardhawy, Yusuf al-, “’Amtana Baina Qarnain” diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul Islam Abad 21–Refleksi Abad 20 dan Agenda Masa Depan, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001)
----------, Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah, diposting dalam www.isnet.org/06/04/09
----------,…(et.al.), “As-Shahwatul Islamiyah Ru’yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili”, diterjemahkan oleh Moh. Nurhakim dengan judul Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar, (Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2002)
----------, Agama dan Masyarakat Madani, diposting dalam www.geocities.com/06/04/09
Rakhmat, Jalaluddin, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, (Cet. II, Bandung: Mizan, 2007)
Sardar, Ziauddin, “The Future of Muslim Civilisation, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Cet. II, Bandung: Mizan, 1989).
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah – Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2 & 6, (Jakarta: Lentera, 2000)
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an – Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. X, Bandung: Mizan, 2000)
Soekanto, Soerjono, Sosiologi – Suatu Pengantar, (Cet. VII, Jakarta: UI-Press, 1970)
Soelaeman, M. Munandar, Ilmu Sosial Dasar–Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Edisi Revisi, (Cet. VI, Bandung: Eresco, 1992)
Suhayli, ‘Abd al-Rahman al-, al-Radh al-Unuf, ed. ‘Abd al-Rahman al-Wakil, (t.tp.: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th.)
Suprayogo, Imam, Membangun Masyarakat dengan Pendekatan Prophetik, diposting dari www.imamsuprayogo.com/07/04/09
Tilaar, H.A.R., Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia – Tinajaun dari Persfektif Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007)
Zuhaili, Wahbah al-, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Cet. II, t.t.p.: Darul Fiqri, 1979)

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI SUMATRADinamika Pendidikan Islam di Minangkabau

A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama rahmah senantiasa mengakomodir kebudayaan dan tradisi lokal yang sesuai dan sejalan dengan sumber primer Islam. Keluwesan Islam menjadi ‘lokomotif’ akselerasi pengembangan kawasan, peradaban, dan penganutnya. Begitu pula komitmen terhadap perjuangan kaum dhuafa sangat tinggi, pemberdayaan dan sikap egalitarian, membuat masyarakat cenderung merespon dan empati kepada Islam.
Mengenai proses kompromi yang terjadi antara Islam dan tradisi lokal, ajaran yang ditekankan dalam Islam cukup berperan dalam kerangka memberikan pondasi dasar terhadap tradisi lokal tersebut. Bahkan terhadap tradisi lokal yang adiluhur dan sesuai dengan faktor lingkungan masyarakatnya, Islam tidak merasa perlu melakukan islamisasi. Islam justru memberikan wewenang lebih besar bagi tradisi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam itu untuk berperan dalam menentukan sebuah hukum. Inilah yang dimaksud dalam rumusan kaidah fiqh, al-âdah al-muhakkamah, sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sedangkan terhadap tradisi sosial yang aniaya, zalim dan menyalahi nilai-nilai kehidupan, Islam dengan tegas menolaknya, dan kemudian memberikan batasan-batasan konstruktif –melalui pendekatan budaya– yang sesuai dengan etika dan norma kemanusiaan. Sehingga Islam tidak sampai terkesan 'menghakimi' tradisi sosial itu sebagai obyek, namun sebaliknya, sebagai subyek untuk menciptakan sendiri bentuk yang sesuai dengan kehidupan sosial masyarakatnya. Maka, di sinilah letak kelenturan Islam ketika bersinggungan dengan tradisi lokal.
Pada gilirannya, spirit Islam mengakomodir segala bentuk tradisi lokal di berbagai wilayah yang dimasukinya, merekonstruksi kebudayaan Islam yang lebih kaya dan beragam. Bahkan dalam kadar tertentu, penyerapan ini menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan demikian, akan semakin meneguhkan Islam sebagai agama yang universal, kontekstual dan sesuai dengan kondisi zaman dan tempat.
Konsepsi ini menjadi pemicu akselerasi Islam berkembang di wilayah Minangkabau, apalagi secara budaya Minangkabau memiliki falsafah yang dekat dengan Islam, seperti dalam ungkapan “adat bersendi syarak dan syarak bersendi adat, adat bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah”. Ungkapan ini menunjukkan sikap akomodatif budaya dan tradisi yang berkembang di Minangkabau. Kehadiran Islam di Minangkabau mendorong percepatan dalam berkembang sampai datang kolonial Hindia Belanda di Minangkabau pada abad ke 16.
Potensi yang tumbuh dan berkembang di abad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi, yaitu:
1. Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
2. Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar ke-Indonesia-an di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis.

Strategi kolonial Hindia Belanda memang memberikan dampak besar bagi eksistensi umat Islam order social. Muslim yang bersatu dapat dibubarkan, muslim yang solid dapat diretakkan, muslim yang berjiwa militan dapat dikendorkan. Hal tersebut menjadi tantangan besar bagi umat Islam di Minangkabau dalam mengemban dakwah dan pendidikan Islam. Benturan politik dengan Belanda, terdorong masyarakat Minangkabau terpaksa berbenturan fisik dengan Belanda. Olehnya itu, menjadi menarik kiranya dibahas sejarah social pendidikan Islam di Minangkabau, mulai dari babak awal perjuangan sampai ke ranah kemodernan.

B. Permasalahan
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi spketrum pembahasan dalam makalah, yaitu:
1. Bagaimana dinamika sosial Islam di Minangkabau?
2. Bagaimana dinamika pendidikan Islam di Minangkabau?
3. Siapakah tokoh pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau?
Ketiga permasalahan di atas akan dikemukakan secara deskriptif, dengan analitis kritis social historis pendidikan Islam.

C. Dinamika Sosial Islam di Minangkabau
Wilayah Minangkabau adalah daerah yang penghasil lada dan emas, di samping padi. Daerah ini dikenal dengan usaha tenun dan kerajinan rakyatnya. Perdagangan emas dan lada sudah ramai berjalan sejak tahun 1347 hingga tahun 1665, yang dilakukan oleh pedagang Minangkabau dengan pedagang Aceh. Pada kurun berikutnya, perdagangan Minangkabau berlangsung dengan Belanda dan Inggris. Hasil tambang emas dan hasil bumi lada rantau Barat Sumatra itu rupanya telah menarik minat bangsa Barat untuk mengadakan monopoli dagang dan menguasai wilayah itu. Objek ekspansi dan kolonialis bangsa Barat adalah wilayah yang hidup subur rempah-rempah, yang menjadi kebutuhan orang-orang Eropa.
Pusat kekuasaan Minangkabau adalah Pagaruyung, namun raja Pagaruyung lebih berfungsi sebagai lambing pemersatu, sedangkan kekuasaan sesungguhnya berada di bawah para penghulu adat. Balai adat yang terdiri dari para penghulu berkuasa memutuskan sesuatu, dan menentukan langkah-langkah politik di nageri (desa) masing-masing. Para penghulu bukan wakil raja di daerahnya tetapi pemimpin yang dipilih sesuai dengan “sakato alam” atau persetujuan masyarakat.
Kedudukan raja Paguruyung selain sebagai lambang, juga pengikat adat. Ia dibantu oleh Basa Ampek Balai, terdiri dari Datok Bandaro di Sungai Tarab (Ketua adat), Tuan Makhudum di Sumanik (Menteri Kerajaan atau rantau), Tuan Kadi di Padang Ganding (Menteri Urusan Agama), dan Tuan Gadang di Batipuh (Menteri Urusan Keamanan). Raja Minangkabau yang tiga sila yaitu Raja Alam di Paguruyung, Raja Ibadat di Simpur Kudus, dan Raja Adat di Biu, mempunyai kedaulatan di rantau, yaitu pesisir Barat dan Timur. Di pesisir ini kekuasaan nyata bukan di tangan penghulu, tetapi para rajalah yang berkuasa. Raja sebagai koordinator dari penguasa-penguasa lokal, dan keputusan yang menyangkut Negara di bawah koordinasi raja.
Berdasarkan berita Tomes Pires (1512-1515), dapat diketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatra Utara dan timur Selat Malaka, yaitu daerah Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam. Akan tetapi, daerah-daerah yang belum Islam juga masih banyak, yaitu Palembang dan daerah-daerah Pedalaman. Proses Islamisasi ke daerah-daerah pedalaman Aceh, Sumatra Barat, terutama terjadi sejak Aceh melakukan ekspansi politiknya pada abad ke-16 dan 17 M.
Masuknya Islam di Minangkabau terjadi perbedaan pendapat yang bervarian. Ada pendapat yang menyatakan pada tahun 1250 M, 1500 M, dan 1650 M. Akan tetapi, fakta sejarah lain menunjukkan bahwa ulama pertama yang menyebarkan Islam di Minangkabau adalah Syekh Burhanuddin pada tahun 1646. Dengan demikian, Islam masuk ke Minangkabau terjadi sebelum tahun 1646. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah bahwa ada tiga ulama Minangkabau yang pada era sebelum Syekh Burhanuddin yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Tiro sekitar tahun 1603 telah menyebarkan Islam di Sulawesi. Ketiga muballigh ini memiliki jasa besar dalam penyebaran Islam di Sulawesi dan Kalimantan Timur.
Ketika Islam masih dalam proses ekspansi dan konsolidasi di wilayah Minangkabau, Hindia Belanda datang ke Nusantara dan melakukan berbagai kegiatan politik, ekonomi, dan agama. Hal ini tentunya dapat menghambat kegiatan sosial keagamaan masyarakat Minangkabau. Kedatangan Belanda ke wilayah nusantara pada abad 17, wilayah Sumatra seperti Minangkabau, Jambi, Riau, dan Palembang mengalami kemunduran kedaulatan dan dalam rongrongan intervensi kolonialisme, kecuali Aceh yang tetap masih bertahan dan eksis. Akibatnya, hubungan masyarakat pribumi dan kolonial sering mengalami benturan fisik, sebagaimana yang dilakukan Imam Bonjol dalam perang Paderi (1821-1837).

D. Dinamika Pendidikan Islam di Minangkabau
Lembaga pendidikan yang termasyhur di Minangkabau adalah Surau. Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistim adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Bahkan surau menjadi tempat menginap bagi tamu perantau. Transformasi fungsi surau sebagai tempat rapat, berkumpul, dan sebagainya menjadi lembaga pendidika Islam yang sangat efektif melihat fungsi surau dapat menjadi momentum pembelajaran pendidikan Islam.
Kehadiran surau pertama kali dalam lembaga pendidikan Islam diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin, di Ulakan-Pariaman, sebagai tempat melaksanakan shalat dan pendidikan tarekat (suluk), dengan cepat dapat bersosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Pengembangan lembaga pendidikan surau menjadi pusat transformasi ilmu identik dengan fungsi masjid di zaman Rasulullah, yaitu Surau menjadi term of reference dalam peningkatan kualitas kehidupan bermasyarakat.
Fungsi surau akan semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistim matrilineal, menurut ketentuan adat bahwa laku-laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka harus tidur di surau. Surau juga menjadi tempat berkumpulnya anak laki-laki yang telah baligh dan persinggahan bagi para perantau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis. Dengan demikian, Surau menjadi lembaga pendidikan Islam yang amat penting di Minangkabau.
Lembaga pendidikan Islam di Surau menggunakan sistim halaqah . Ada dua jenjang pendidikan surau, yaitu:
a. Pengajaran al-Qur’an, yaitu pengenalan huruf hijaiyah, membaca al-Qur’an, melagu, kasidah, barzanji, tajwid, dan kitab parukunan.
b. Pengajian Kitab, yaitu ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikhi, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya.

Dalam posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, surau sangat strategis, baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Di antara alumni pendidikan Surau adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad, dan Hamka. Alumni Surau telah banyak berkiprah dalam perjuangan bangsa dan pencerdasan intelektual dan spiritual dari kebodohan dan kejumudan. Sumbangsih Surau kepada bangsa menjadi mainstream pergerakan dan pergolakan pendidikan Islam di Nusantara.
Lembaga pendidikan Islam Surau mulai surut peranannya karena disebabkan beberapa hal, yaitu:
a. Selama perang Padri banyak Surau yang terbakar dan Syekh yang meninggal.
b. Belanda mulai memperkenalkan sekolah nagari.
c. Kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktik-praktik surau yang penuh dengan khurafat, bid’ah dan takhayul.

Pada tahun 1803, H. Miskin, H. Sumanik, dan H. Piobang pulang dari Mekah (di kala itu Wahabiyah telah duduki Mekah) dan setibanya di kampungnya, ia melarang bermacam-macam kejahatan dan tradisi – yang tidak sesuai dengan Islam yang sempurna, -seperti judi sabung ayam, minum tuak dan sebagainya, dan ikut bergabung dalam perang Paderi melawan kaum ‘Adat’ di Kota Lawas. Pembaharuan yang dilakukan kaum Paderi telah merubah paradigma keagamaan masyarakat Minangkabau, terbukti banyaknya didirikan lembaga pendidikan Islam yang bercorak modernis.
Ada beberapa lembaga pendidikan Islam di Minangkabau:
1. Perguruan Adabiah
Pada tahun 1907, H. Abdullah Ahmad mendirikan lembaga pendidikan dengan nama Adabiah School. Perguruan ini hanya bertahan 2 tahun karena mendapat reaksi dari masyarakat tradisional, sehingga ditutup. Tidak lama kemudian, pada tahun 1909 H. Abdullah Ahmad mendirikan kembali lembaga pendidikan dengan nama Perguruan Adabiah di Padang.
Sistim pendidikan Perguruan Adabiah mengadopsi sistim pendidikan Hindia Belanda, dan mengambil pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib. Kolaborasi pelajaran umum dan agama, dan tingkat pendidikan sekolah dasar. Pada tahun 1950 didirikan SMP, kemudian tahun 1958 didirikan SMA, dan pada tanggal 22 Agustus 1984 didirikan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) sampai sekarang.
2. Sumatra Thawalib
Sumatra Thawalib awalnya merupakan perkumpulan koperasi dan berkembang menjadi sebuah perguruan pada tahun 1918 di Padangpanjang dengan sistim pendidikan yang diterapkan adalah halaqah. Kemudian pada tahun 1921 beralih dari sistim halaqah ke sistim klasikal, lama studi 7 tahun, pembenahan manajemen sekolah, kurikulum dan pembelajaran, administrasi pendidikan, serta tenaga edukasi.
Sumatra Thawalib kurang mendapat respon dari masyarakat Minangkabau, karena sistim pendidikan surau sudah tereduksi, dan corak berpikir yang bergeser dari tradisi Minangkabau. Kemudian pada tahun 1927 terjadi konspirasi politik yang berhaluan komunis di Sumatra Thawalib, lalu bergeser ke ‘ranah’ gerakan politik, sehingga pada tahun 1930 dirubah nama dengan Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), dan pada tahun 1932 singkatan PMI diganti dengan PERMI.
3. Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung
Lembaga pendidikan MTI ini didirikan pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Zulkaidah 1346 H) oleh Syekh H. Soelaiman ar-Rasuli di Candung (Bukit Tinggi) dan sasarannya sebagai pemersatu sekolah-sekolah yang dibangun ulama tradisional (kaum Tuo) di Minangkabau. Kemudian mazhab resmi pelajaran agamanya adalah mazhab Syafi’iy dan I’tikad Ahlussunnah wal jama’ah. MTI menjadi induk madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah seluruh Indonesia dan Partai Islam PERTI selama 23 tahun (1946-1969).
Seiring akselerasi ilmu pengetahuan dan tuntutan masyarakat, MTI mengalami dinamika, misalnya dengan menyiapkan 3 level pendidikan, MI, MTs., dan MA. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional, pelajaran klasikan tetap dipertahankan. MTS tetap eksis sampai sekarang di bawah pimpinan Buya Bahruddin ar-Rasuli.
4. Arabiah School
Arabiah school didirikan pada tahun 1918 di Agam oleh Syekh Abbas Ladang dengan jenjang pendidikan dasar (elementer). Sekolah ini tidak lama berjalan karena tidak mendapat respon dari masyarakat. Hal ini diakibatkan karena sistim pendidikan yang diterapkan tidak sesuai dengan sistim pendidikan surau. Eksistensi sekolah ini tampak bersifat revolusioner sistem pendidikan Islam dari tradisional menjadi klasikal. Masyarakat Minangkabau menjadi ‘kaget’ dan penuh tuduhan kepada pihak sekolah berkeinginan tatanan tradisi dan budaya luhur.
5. Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI)
Awalnya yakni tahun 1918, PGAI merupakan perkumpulan guru-guru agama Islam sebagai pengikat kaum cerdik cendekia, baik kaum muda maupun kaum Tua di Minangkabau. PGAI didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad, dengan maksud sebagai wadah konsolidasi guru agama Minangkabau dalam meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan Islam di Minangkabau. PGAI sebuah pergerakan di sektor sosial, dan pada tanggal 1 April 1931 menjadi gerakan pendidikan dengan pendirian intitusi pendidikan Normal Islam.
Sistim pendidikan Normal Islam melakukan kolaborasi pendidikan agama dan umum dengan presentase 12 % : 88 %. Akan tetapi, jumlah jam pelajaran agama sebanyak 41 %, dan umum sebanyak 59 %. Pelajaran agama dibekali dengan bahasa Arab dengan guru alumni Mesir dan pelajaran umum didirikan laboratorium fisika, kimia, serta pendidikan keguruan.
Pada tanggal 9 Desember 1940, PGAI mendirikan pendidikan tinggi di kompleks PGAI Jati Padang, dengan membuka dua fakultas yakni fakultas syari’ah dan fakultas pendidikan dan bahasa Arab. PGAI mencapai kegemilangan pada tahun 1958, kemudian mulai merosot ketika terjadi pemberontakan PRRI pada tahun yang sama.
6. Normal Islam (Normaal Islam)
Normal Islam didirikan oleh Dr. H. Abdullah Ahmad pada tanggal 1 April 1931 di Padang dengan gagasan H. Abdullah Ahmad dan H. Abdul Karim Amrullah, dan dipimpin oleh Mahmud Yunus. Institusi ini setingkat SMA dan diterapkan lama belajar selama 4 tahun, setiap tahun siswa diwajibkan mengikuti 17 mata pelajaran dengan 34 jam perminggu. Dalam kurun waktu 15 tahun (1931-1946), normal Islam melahirkan alumni kurang lebih 750 alumni. Normal Islam terpaksa ditutup pada tahun 1946 akibat agresi Belanda I terjadi di Padang.
7. Madras School
Lembaga ini didirikan oleh Syekh Mohammad Thaib Umar pada tahun 1910 di Sungayang (Batusangkar). Madras School sebagai jenjang menuju pengajian kitab-kitab besar. Pada tahun 1913, Madras School terpaksa ditutup karena tidak adanya siswa baru. Kemudian pada tahun 1918, sekolah ini didirikan kembali oleh Mahmoed Joenoes, dan pada tahun 1923 diganti nama dengan Diniyah School, dan pada tahun 1931 diganti nama dengan al-Djami’ah Islamiyah.
8. Universitas Islam Darul Hikmah
Institusi ini didirikan 27 Rajab 1373 H (1953) dengan nama Perguruan Islam Tinggi Darul Hikmah yang berkedudukan di Bukit Tinggi, dengan satu fakultas yaitu Fakultas Hukum Islam. Pada tanggal 12 Oktober 1957, intitusi ini diganti nama menjadi Universitas Islam Darul Hikmah dan dengan bertahap membuka lima fakultas di berbagai daerah, yaitu fakultas Hukum Islam di Bukit Tinggi (27 Rajab 1373/1953), Fakultas Ushuluddin di Padangpanjang (12 Agustus 1956), Fakultas al-Dakwah wal Irsyad di Payakumbuh (23 Juni 1957), Fakultas Fiqhi wa al-Ushul di Solok (6 Agustus 1957), dan Fakultas di Padang (9 September 1957).
Program pendidikan terdiri atas dua, yaitu program 3 tahun dengan syahadah ‘alimiyah (M.Ed.), dan program 5 tahun dengan syahadah ‘aliyah (B.Ed.).

9. Training College
Lembaga ini didirikan oleh Nasaruddin Toha pada tahun 1934 di Payakumbuh. Pendidikan ini merupakan semi akademi karena muridnya adalah alumni ‘Aliyah (SMA Islam). Visi lembaga ini adalah persiapan pemimpin bangsa dalam kerangka pergerakan kemerdekaan Indonesia. Olehnya itu, diperlukan kader pemimpin bangsa yang berilmu pengetahuan dan memiliki nasionalisme yang tinggi.
Pengembangan pendidikan Islam di masyarakat Minangkabau dilakukan dengan pendidikan nonformal, yaitu melalui media massa. Media Massa, baik surat kabar maupun majalah berkembang dengan baik di Minangkabau:
1. Majallah al-Imam didirikan oleh Syekh Thahir Djalaloeddin al-Minangkabawi al-Azhari bersama Syekh Muhammad Salim al-Kalali di Singapura. Majalah al-Imam sebagai corong pembaharu dan sebagai wadah dalam menyerang kaum tradisionalis.
2. Majallah al-Munir diterbitkan oleh Syekh H. Abdoellah Ahmad pada tahun 1911-1916 di Padang. Majalah ini sebagai corong pembaharuan Islam dan gerakan puritanisme Islam.
3. PERMI mendirikan beberapa surat kabar dan majalah. Adapun surat kabar yang diterbitkan di bawah naungan PERMI adalah Medan Rakyat diterbitkan di Padang bulan September 1932, Barisan Kita diterbitkan di Payakumbuh tahun 1932, dan KRIS diterbitkan di Bukit Tinggi tahun 1932. Kemudian majallah adalah Medan Putri diterbitkan di Bukit Tinggi tahun 1932, Semangat Muda diterbitkan di Padang tahun 1932, dan Pahlawan Muda diterbitkan pada tahun 1932.

E. Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Minangkabau
Masyarakat Minangkabau berkembang dengan baik lembaga pendidikan Islam. Dinamika lembaga pendidikan Islam tidak terlepas dari peran tokoh dan pergulatan intelektualnya dalam melaksanakan pendidikan Islam di Minangkabau. Tokoh pendidikan Islam Minangkabau, di antaranya adalah:
1. Abdullah Ahmad
Abdullah Ahmad tokoh pembaru pendidikan Islam di Sumatra Barat yang pertama kali memperkenalkan sistim madrasah, yaitu model pendidikan agama yang menggunakan kelas yang dilengkapi bangku, meja, papan tulis, kurikulum yang terstandar, ijazah, dan visi lulusannya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Lulusannya selain menguasai ilmu agama Islam, juga menguasai ilmu pengetahuan umum, ketrampilan, mampu berbahasa asing khususnya bahasa Arab dan Inggris.
Gagasan pendidikan Abdullah Ahmad dapat dilihat sebagai berikut:
a. Pemerataan pendidikan, yakni semua warga berhak mendapat dan melanjutkan pendidikan formal.
b. Kurikulum, yaitu dipadukannya pelajaran agama dan umum kemudian disusun secara sistimatis sesuai jenjang dan kelas.
c. Dana pendidikan, yaitu perlunya pendanaan (donator) yang jelas dalan rangka kelancaraan roda pendidikan.
d. Kemodernan, yakni sikap keterbukaan yang objektif dan kritis, misalnya bolehnya siswa non Islam belajar di Adabiyah School.
e. Metode pengajaran, yakni diterapkan debating club (diskusi) sebagai prasyarat dialektika pemikiran anak didik dalam menyelami samudra keilmuan.

Abdullah Ahmad di samping sebagai pendidik dan pendiri lembaga pendidikan Islam, juga sebagai penulis yang produktif. Ia mendirikan majallah al-Munir bersama H. Abdul karim Amrullah (1911), mendirikan organisasi PGAI. Ini menunjukkan betapa kegigihannya dalam memperjuangkan kemajuan intelektual umat. Berkat kerja keras, kegigihan ataupun prestasinya dalam bidang pendidikan dan kemasyarakat, pada tahun 1926 bersama-sama dengan H. Abdul Karim Amrullah, memperoleh anugrah Doctor Honoris Causa dalam bidang keagamaan dari salah satu lembaga pendidikan Tinggi Islam di Kairo, Mesir.
2. Abdul Karim Amrullah
Syekh H. Abdul Karim Amrullah merupakan cendekiawan muslim dan tokoh pembaharu di Minangkabau dan pelanjut pejuang Paderi. Ketika pulang dari Mekah pada tahun 1901, ia melanjutkan gerakan pembaharuan yang telah dirintis oleh kaum Paderi. Abdul Karim Amrullah memiliki gagasan pendidikan yang lebih modernis. Awalnya direvisi kurikulum pendidikan Islam dengan memasukkan pelajaran ‘umum’ ke sekolah. Ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Islam ialah ilmu nahwu, syaraf, fiqhi, tafsir, tauhid, hadits, musthalah hadits, mantiq (logika), ma’ani, bayan, badi’, dan ushul fiqhi. Ia menyusun kurikulum berdasarkan tingkat atau kelas, dan sistim pendidikan bersifat klasikal.
Dalam pembelajaran, Abdul Karim Amrullah mengembangkan sistim klasikal dan menggunakan metode diskusi dan Tanya jawab. Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berpikir bebas, membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi, serta murid-murid dirangsang untuk bertanya dan berdebat dengan guru. Dengan semangat berdiskusi, berdebat dan bertanya, maka timbul dari diri murid semangat untuk menggali ilmu sendiri (self activity).
Abdul Karim Amrullah sangat menekankan pentingnya pendidikan berorganisasi pada murid. Murid didorong untuk mengikuti ceramah-ceramah yang terkait dengan organisasi dan mobilisasi. Ia berpandangan bahwa, dengan berorganisasi segala sesuatu akan mudah dicapai, sebaliknya usaha yang bersifat perseorangan tidak terorganisir, parti akan berkesudahan dengan kegagalan.
3. Zainuddin Labay el-Yunusi
Zainuddin Labay el-Yunusi adalah salah seorang pejuang, pendidik, dan mubaligh Minangkabau yang gigih dalam harkat dan martabat rakyat Minangkabau dari kebodohan, churafat, tahayul, bid’ah dan keberanian menghadapi kolonialisme. Beliau mendirikan Diniyah School dengan menerapkan sistim modern, yakni menggunakan sistim klasikal dan kurikulum yang teratur. Kolaborasi pendidikan agama dan umum menjadikan output berkualitas yaitu memiliki pengetahuan agama dan umum yang menjadi kebutuhan mendasar dalam membangun masyarakat dan bangsa.
Dalam pembelajaran ilmu umum, Zainuddin cenderung mengambil ide pembaharuan pendidikan yang dikembangkan Muhammad Kamil Pasya, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kemudian, pelajaran agama, selain yang diajarkan kitab karangan Zainuddin, juga diambil dari literature Mesir, sedangkan ilmu umum diambil dari literatur Barat. Selain pelajaran agama dan umum, pelajaran bahasa Arab juga sangat ditekankan dalam proses pembelajaran di sekolah, karena bahasa Arab sebagai ilmu alat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Di sisi lain, Zainuddin juga mendirikan majallah al-Munir sebagai media pendidikan bagi masyarakat muslim. Melalui tulisannya, ia mencoba membuka wawasan umat Islam tentang universalitas agama Islam. Bahkan dibeberapa tulisannya di majallah al-Munir, menuai banyak sorotan dari kalangan ulama di Minangkabau. Ia justru dituduh sebagai ulama yang sesat dan ulama Wahabi yang telah keluar dari mazhab ahlu sunnah wal jama’ah.
4. Rahmah el-Yunusiyah
Rahmah el-Yunusiah merupakan tokoh perempuan yang memperjuangkan pendidikan bagi putrid dan sejajar dengan dengan putra. Perjuangan pendidikan bagi perempuan menjadi ‘lokomotif’ bagi peningkatan peran serta perempuan dalam pembangunan dan mengeliminir keterbelakangan. Keterpurukan posisi perempuan (Minangkabau) mendorong Rahmah mendirikan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang pada bulan November 1923.
Konsepsi pendidikan Rahmah ialah pendidikan untuk semua, baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya, laki-laki dan perempuan yang membedakannya hanyalah taqwa (dalam QS. 49:13). Prinsip ini terrealisasi dalam Madrasah Diniyah Putri dengan menggunakan sistim modern yaitu mengakomodir kurikulum umum untuk diajarkan di sekolah. Secara konfrehensif, Rahmah el-Yunisiyah terlihat jelas dalam konsep ‘tri tunggal pendidikan perempuan’ yaitu pendidikan di sekolah, pendidikan di asrama, dan pendidikan di masyarakat.
5. Syaikh Ibrahim Musa Parabek
Syaikh Ibrahim Musa Parabek dari Sumatra Barat yang menjadi sosok pembaru pendidikan, yang berhasil mengubah adat-istiadat masyarakat menjadi masyarakat yang beradab dan berakhlak mulia dengan pendekatan persuasif dan lemah lembut. Ia memiliki perhatian yang besar terhadap pembinaan mental spiritual masyarakat dengan menggunakan pendekatan yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendirikan Sumatra Thawalib dengan tujuan untuk menghimpun para anak didik yang mengikuti pendidikan yang diberikannya.
Usaha-usaha yang dilakukan Syaikh Ibrahim Musa Parabek dalam pembaruan pendidikan Islam di antaranya adalah menggunakan sistim klasikal sebagai pengganti sistim halaqah, mempertajam tujuan pendidikan yang diharapkan untuk mencetak kader ulama yang tafaqquh fi al-din, membenahi kurikulum dengan memadukan sistim kurikulum yang ada di surau dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat saat itu, melengkapi sarana dan prasana yang memadai bagi terwujudnya proses pembelajaran yang efektif dan efisien, dan diterapkan sistim evaluasi yang ketat untuk mengetahui kemampuan siswa.
6. H. Abdul Karim Amrullah (Hamka)
Hamka adalah seorang ulama Minangkabau yang memiliki pemikiran modernis. Hamka dengan sikap inklusif terhadap dinamika dan gagasan pembaharuan, mempengaruhi corak berpikirnya dalam dunia pendidikan Islam. Hamka berkeinginan masyarakat keluar dari sistim pendidikan yang jumud dan segera direnovasi dan beradaptasi dengan sistim pendidikan modern.
Hamka berpandangan bahwa setidaknya ada tiga institusi yang bertugas dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan, yaitu lembaga pendidikan informal, lembaga pendidikan nonformal, dan lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan informal merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama, sebagai jembatan dan penunjang bagi pelaksanaan pendidikan selanjutnya (formal dan nonformal). Ketiga lembaga pendidikan seyogyanya bersinergi dan saling mengisi untuk membentuk integritas kepribadian anak yang equilibrum. Konsep konfrehensif pendidikan ini menunjukkan bahwa Hamka menjadi sosok pendidik yang menginginkan integrasi keilmuan (islamisasi sains) dan sistim pendidikan modern.
Agar terwujud hasil pendidikan Islam yang baik, menurut Hamka, seharusnya dibenahi sumber daya pendidik yang memiliki kecakapan, akhlak, dan skill yang baik. Kemudian metode dan materi pendidikan Islam harus disesuaikan dengan kebutuhan anak didik dan dinamika zaman. Materi pendidikan setidaknya mencakup ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum, ketrampilan, dan kesenian. Kemudian, menurut Hamka, model pendidikan yang ideal adalah model pesantren, yang mana memiliki tempat belajar, masjid tempat melaksanakan ibadah, dan asrama. Penekanan pentingnya asrama, agar anak didik bias setiap saat melakukan diskusi, diawasi, dan dibimbing secara intensif.
7. Mahmud Yunus
Mahmud Yunus seorang ulama Minangkabau yang mendapat pendidikan Islam di al-Azhar dan Darul Ulum di Mesir. Ia dengan masif memperjuangkan ide-ide pembaharuan sistim pendidikan Islam di Minangkabau. Ia berusaha menerapkan sistim modern dalam pendidikan Islam di sekolah. Ia mencoba menyeimbangkan pelajaran umum dan pelajaran agama di sekolah dengan pengantar bahasa Arab.
Dalam proses pembelajaran, Mahmud Yunus tidak mengambil jarak dengan anak didiknya, berbeda dengan sistim pesantren di Jawa. Ia sangat menekankan penguasaan metode bagi seorang guru. Hal ini sesuai dengan ungkapannya “at-Tariqah ahammu min al-maddat” (metode lebih penting daripada materi pelajaran). Adapun kurikulum yang disusun untuk diterapkan di Normal Islam ialah ilmu-ilmu agama, bahasa Arab (insyak, muthalaah, mahfuzhat, qawaid, adabul luqhah), ilmu-ilmu umum (aljabar, ilmu ukur, ilmu kimia, ilmu hayat, ekonomi, sejarah Indonesia dan dunia, ilmu falak, tata Negara, bahasa Inggris/Belanda, Gerak Badan, ilmu pendidikan, ilmu jiwa, ilmu kesehatan, dan menggambar). Kemudian alokasi waktu dapat dipetakan yaitu 15 % untuk pelajaran agama, 20 % bahasa Arab, dan 65 % pelajaran umum. Namun demikian, Mahmud Yunus berpandangan bahwa sasaran utama pendidikan ialah aspek pembentukan kepribadian dan pendidikan moral.

F. Simpulan
Dari uraian singkat di atas, dapatlah ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Dinamika sosial Islam di Minangkabau mengalami perkembangan dengan baik, karena tingginya respon masyarakat terhadap pendidikan, terjadinya interaksi antara tokoh ulama dan pendidik dengan dunia luar, apakah melalui pendidikan di Mekah dan Mesir atau hasil interaksi dengan pemikiran kolonial, yang tentunya memberikan corak berpikir yang dapat berdialektika dengan perkembangan zaman.
2. Dinamika pendidikan Islam di Minangkabau cukup baik, yakni awalnya sistim pendidikan surau dengan model halaqah, menjadi sistim pendidikan modern dengan model klasikal, revisi kurikulum dengan penambahan mata pelajaran agama dan diajarkan juga mata pelajaran umum, peningkatan SDM tenaga pendidik, dan dilakukan evaluasi pembelajaran yang menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam.
3. Tokoh pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau di antaranya adalah Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah (H. Rasula), Zainuddin Labay el-Yunusi, Rahmah el-Yunusiyah, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), dan Mahmud Yunus. Tokoh pendidikan Islam asal Minangkabau ini memberikan corak bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, khususnya dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987)
---------, dan Mohammad Hisyam, Sejarah Umat Islam di Indonesia, Edisi Revisi, (Cet. 2, Jakarta: MUI kerjasama dengan Pustaka Umat, 2003)
Azra, Azyumardi Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Persfektif Masyarakat, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), “Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah”, (Jakarta: P3M, 1985)
---------, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Ciputat: Logos, 1999)
Bahy, Muhammad al-, Al-Qurân... Wa al-Mujtama’ (Kairo: Maktabah Wahbah, cet II, 1986)
Boechari, Sidi Ibrahim, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, 1981)
Departemen Agama RI., Ensiklopedia Islam di Indonesia, (Jakarta: Proyek Depag RI, 1992/1993)
Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847, Diterjemahkan oleh Lilian D. Tedjasukandhana dengan judul “Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847,” (Jakarta: INIS, 1992)
Edwar (Ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatra Barat, (Padang: Islamic Centre Sumatra Barat, 1981)
Gazalba, Sidi, Pendidikan Umat Islam: Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat, (Jakarta: Bharatara, 1970)
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)
---------, Lembaga Hidup, (Djakarta: Djajamurni, 1962)
http://norma1087.wordpress.com/sejarah-islam-di-indonesia/24/11/08
Kuntowidjojo, “Perang Paderi”, dalam Sartono Kartodirdjo (Ed.), Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme, (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI Dephankam, 1973)
Nata, Abuddin, (Ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001)
----------, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004)
----------, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Ed.1, (Cet. 1, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005)
Nazwar, Akhria, Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)
Nizar, Samsul., (Ed.), Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia,Edisi I, (Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2007)
---------, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005)
Noer, Dalier, Gerakan Modern Islam, (Jakarta: Logos, 1999)
R.Z. (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
Radjab, Muhammad, Perang Paderi di Sumatra Barat (1803-1838), (Djakarta: PN. Balai Pustaka, 1964)
Rahmat, M. Imadaddun, dkk, “Islam Pribumi; Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 14 Tahun 2003 (Jakarta Lakpesdam 2003)
Ramayulis, H., dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Cet.1, Ciputat: Quantum Teaching, 2005)
Steenbrink, Kareel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke – 19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Jambatan, 2002)
Tjandrasasmita, Uka., (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984)
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, ed. 1, (Cet. 16, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004)
Yunus, Mahmud, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1980)
----------, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Cet. 4, Jakarta: Mutiara, 1995)
----------, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Cet. 3, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992)

KEPEMIMPINAN MENURUT AL-QUR’AN-Studi Tentang Tafsir Maudhu’iy

I. Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan permasalahan yang sangat urgen dikaji dan ditelaah, baik bersifat normatif maupun historis. Kepemimpinan menjadi kodrat manusia dalam melakoni kehidupan, karena menjadi mainstream dalam eksistensi order sosial. Manusia secara kodrati memiliki naluri untuk mengatur dan berkuasa, di sisi lain sebagai makhluk social berkeinginan untuk hidup dalam kedamaian keteraturan. Pemenuhan tuntutan tersebut, manusia senantiasa berada dalam ranah kepemimpinan.
Dalam konteks yang lebih luas, kepemimpinan senantiasa dikaji dalam kaitannya dengan organisasi, baik yang berskala kecil maupun berskala besar. Kepemimpinan selalu terkait dengan ranah politik, sehingga teori-teori kepemimpinan banyak dibahas di dalam disiplin ilmu politik. Kepemimpinan biasanya diidentikkan dengan manajemen dan administrasi karena dalam disiplin ilmu manajemen dan administrasi selalu terkait dengan ilmu manajemen.
Dalam Islam, term kepemimpinan biasanya disejajarkan dengan konsep khalifah, imamah, atau qawwamuna. Akan tetapi, dalam makalah ini akan dibahas kepemimpinan dengan kajian dua term yakni khalifah dan imamah. Pembahasan kedua term ini akan disorot dalam persfektif tafsir maudhu’iy dalam kaitannya dengan kepemimpinan, baik bersifat tekstual maupun kontekstual.
Adapun yang menjadi masalah sentral dalam pembahasan makalah ini adalah:
1. Apakah pengertian khalifah dan imamah secara tekstual dan kontekstual?
2. Bagaimana teori kepemimpinan dalam konsep khalifah dan imamah?

II. Pembahasan
1. Pengertian Khalifah dan Imamah
a. Khalifah
Kata khalifah secara etimologis berakar dari kha’, lam, dan fa, mempunyai tiga makna pokok, yaitu mengganti, belakang, perubahan. Kemudian kata kerja khalafa – yakhlufu dalam al-Qur’an dipergunakan dalam arti “mengganti” baik dalam konteks penggantian generasi, ataupun dalam pengertian kedudukan kepemimpinan. Bentuk kata kerja lainnya yang dipergunakan dalam al-Qur’an adalah istakhlafa – yastakhlifu. Bentuk ini merupakan pengembangan kata kerja dengan pola istaf’ala – yastaf’ilu yang antara lain bermakna ja’ala yaitu “menjadikan”. Dengan makna seperti ini maka ‘timbangannya’ bermakna “menjadikan khalifah”. Dari kata yastakhlifakum berbentuk kata sifat mustakhalafin (mufradnya mustakhlaf artinya orang yang diangkat sebagai khalifah). Lebih sederhananya, khalifah dapat bermakna penguasa yang diangkat oleh Allah. Sedangkan menurut Ibrahim Anis, khalifah adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba’dahu fa-shaara makaanahu).
Secara terminologis, kata khalifah mengandung setidaknya dua makna ganda; pertama, khalifah diartikan sebagai kepala Negara dalam pemerintah dan kerajaan Islam masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan term sulthan; kedua, khalifah juga bisa berarti dua macam, (a) yang diwujudkan dalam jabatan sulthan atau kepala Negara, dan (b) fungsi manusia itu sendiri di muka bumi sebagai ciptaan Allah yang sempurna.
Dalam konteks kajian ini, maka difokuskan kata khalifah sebagai pemimpin. Oleh karena itu, akan diuraikan ayat-ayat yang membicarakan hal tersebut.
Dalam QS. Al-Baqarah : 30, Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Kata khalifah dalam ayat ini memiliki arti pengganti, pemimpin atau penguasa. Kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah sesiapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kekhendak-Nya dan menetapkan ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahami dalam arti menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini. Menghuni bumi yang dikaitkan dengan manusia merupakan salah satu fungsi khalifah, yakni mengelola dan mamanej bumi dengan baik dan benar sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, khalifah dalam ayat ini berarti kaum yang silih bergantian menghuni kekuasaannya, pembangunannya. Sebagaimana dalam QS. Al-An’am: 165, Allah berfirman:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Terjemahnya:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pada manusia Allah menyatakan hukum-Nya dan peraturan-Nya. Dia menjadikan khalifah untuk mengatur bumi, untuk mengeluarkan rahasia yang terpendam di dalamnya. Dianugrahkan kepadanya akal artinya jenis lain dari makhluk sebelumnya, bisa juga diartikan sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap umat manusia. Term khalifah ini dimaksudkan bahwa manusia memiliki tugas mengemban syari’at Allah Swt., sehingga pintu-pintu rahmah dapat terbuka bagi seluruh umat manusia.
Kandungan QS. al-Baqarah: 30 tersebut juga ingin menjelaskan nikmat Allah swt., yang dengan nikmat itu dapat menjauhkan maksiat dan kufur, dan dapat memotivasi seseorang untuk beriman kepada Allah. Jadi diciptakannya Nabi Adam dalam bentuk sedemikian rupa di samping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk mengatur alam semesta sebagai fungsi khalifah Allah. Hal tersebut merupakan nikmat yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan cara taat kepada Allah dan tidak ingkar kepada-Nya, termasuk menjauhi kemaksiatan yang dilarang oleh Allah. Potensi yang sempurna dalam melakoni kehidupan di dunia menjadi salah satu asumsi diberikannya amanah kepada manusia menjadi khalifah di muka bumi.
Surat tersebut juga berbicara mengenai keinginan Allah untuk menciptakan satu makhluk di bumi untuk dijadikan khalifah yang akan menjadi pantulan cahaya sifat Allah dan posisinya lebih tinggi daripada Malaikat. Atas kehendak-Nyalah bumi dan segala isinya, seperti kekuatan, harta, tambang, dan segala potensinya dipersembahkan sesuai kehendak manusia. Makhluk semacam ini pasti memiliki kebijakan, kecerdasan, dan konsep yang luas dan kapasitas khusus sehingga dia mampu menjalankan kepemimpinan dan kedaulatan (mastership) atau makhluk-makhluk bumi.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa QS. Al-Baqarah: 30 menunjukkan wajib mengangkat khalifah yang dapat memutuskan berbagai perselisihan, pertengkaran yang terjadi dan membela orang yang teraniaya dan menegakkan hukum serta melarang segala perbuatan keji, haram, dan lain-lain urusan yang tidak dilaksanakan, kecuali dengan adanya hakim pimpinan khalifah. Pimpinan diangkat dengan nash atau isyarat, atau dengan pengangkatan oleh khalifah yang pertama terhadap yang kedua (sesudahnya) sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Umar bin Khattab atau diserahkan pada beberapa orang yang dianggap layak sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab, atau kesepakatan orang-orang ahli yang berhak menentukan untuk membai’at kepada mereka yang ia sepakati, maka wajib pada rakyat, masyarakat menurut dan mengikutinya.
Dalam QS. Shad: 26, Allah berfirman:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Terjemahnya:
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Ayat di atas dapat dipahami bahwa pengangkatan khalifah ini menyangkut pengertian pengangkatan sebagian manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syari’at-syari’at-Nya. Pengertian khalifah ini juga mencakup seluruh makhluk (manusia) yang berciri mempunyai kemampuan berfikir yang luar biasa. Manusia dengan kekuatan akal, ilmu pengetahuan, dan daya nalar mereka belum bisa diketahui secara jelas sampai sejauhmana kemampuan yang sesungguhnya. Dengan kemampuan akal, manusia bisa berbuat mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan. Ayat tersebut juga mendeskripsikan bahwa Nabi Daud diangkat sebagai khalifah di muka bumi dengan tugas menegakkan hukum dengan benar di tengah-tengah masyarakat. Perintah tersebut disertai pula larangan mengikuti hawa nafsu semata karena hal itu menyebabkan penyimpangan dari agama Tuhan.
Adapun persamaan kedua ayat tersebut (ayat pengangkatan khalifah Nabi Adam dan Nabi Daud) adalah kedua tokoh tersebut diangkat oleh Allah menjadi khalifah di bumi dan keduanya dianugrahi pengetahuan. Keduanya pernah tergelincir dan keduanya memohon ampun lalu diterima permohonannya oleh Allah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa: pertama, kata khalifah digunakan al-Qur’an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Nabi Daud as. (947-1000 SM) mengelola Palestina dan sekitarnya, sedang Nabi Adam as. Secara potensial dan actual mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah peradaban dan kemanusiaan; kedua, seorang khalifah berpotensi bahkan secara actual dapat melakukan kekeliruan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu.
Larangan mengikuti hawa nafsu pada hakekatnya adalah upaya memelihara martabat kemanusiaan (basyariyat al-insan) sehingga tidak terjatuh ke tingkat hewani atau nabati. Dikhususkannya larangan tersebut kepada seorang pemimpin politik dapat dikaitkan dengan kedudukannya sebagai pemegang tampuk kekuasaan dalam masyarakatnya. Seorang pemimpin politik yang hanya mengikuti kehendak hawa nafsunya tidak saja merugikan dirinya (citra) juga kecerdasan dan jabatan, menjadikan masyarakat sebagai korban hawa nafsunya atau kroninya. Gejala seperti ini tidak asing dalam kehidupan politik, dan dapat diketahui dengan baik dari referensi normatif dan historis.
Sehubungan dengan martabat kemanusiaan dalam kepemimpinan, al-Qur’an juga menyeru untuk memberikan kepemimpinan pada orang-orang yang mengikuti peraturan Allah dan Rasul-Nya (QS. Al-Maidah: 55 dan 56; QS. Al-Anfal: 34; dan QS. Al-Taubah: 71) dan melarang untuk memberikan kepemimpinan pada orang yang tidak beriman (QS. Ali Imran: 28 dan 118; QS. An-Nisa: 89 dan 139; QS. Al-Maidah: 51, dan 57-58; QS. Al-An’am: 14; QS. Al-Taubah: 16 dan 23).

b. Imamah
Imamah sering diartikan sebagai kepemimpinan. Akan tetapi, dalam al-Qur’an sendiri tidak dijumpai kata imamah. Kata imamah yang berasal dari kata imam terdapat 7 kali dan atau kata “immah” terulang 5 kali. Kata imam terambil dari kata amma – ya’ummu yang berarti menuju, menumpu, atau meneladani. Dari akar kata yang sama lahir antara lain kata umm yang berarti ibu dan imam yang maknanya pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan. Ada juga yang berpendapat bahwa kata imam pada mulanya cetakan, seperti cetakan untuk membuat sesuatu yang serupa bentuknya dengan cetakan itu. Dari sini, kemudian imam diartikan teladan.
Imam dalam bahasa Arab berarti ikutan bagi kaum, baik dalam hal kebaikan maupun dalam hal kesesatan. Dalam kontek agama, imam adalah seseorang yang berdiri di depan jama’ah dan memimpin ibadah. Sedangkan dalam konteks politik, imam bisa berarti kepala negara, dan lembaganya disebut imamah. Dalam hal ini, imam konteks agama (ibadah) disebut al-imamat al-sughra’ (keimaman yang kecil) sebagai imbalan al-imamat al-kubra’ ( keimaman yang besar) dalam kontek politik.
Dari segi lain, kata imam juga mengandung arti sebagai seorang yang memiliki pengetahua agama yang luas lagi dalam. Dalam konteks ini, atribut imam mengandung pada dirinya makna kehormatan dan kemuliaan. Dalam persepsi Syi’ah, seorang imam bukanlah sekedar kepala dari suatu pemerintahan Islam, atau bukan sekedar riyasat ‘ammat fi al-din wa al-dunya niyabatan ‘an al-nabiyy (kepemimpinan umum dalam urusan agama (spiritual) dan dunia (temporal) sebagai pengganti Nabi seperti pengertian khilafah dalam Sunnah. Lebih dari itu, imam bagi Syi’ah adalah pewaris ajaran esoterik Nabi Muhammad s.a.w. Oleh sebab itu, setelah pintu kenabian tertutup dengan wafatnya Nabi Muhammad, maka harus ada yang mewarisi fungsi esoteriknya dan meneruskan tugas untuk menerangkan arti batin hukum-hukum Tuhan.
Konsep imam sulit diambil kesimpulan pengertiannya karena di dalam al-Qur’an terdapat pengertian yang beragam, yakni sebagai berikut:
1. Imam berarti “Nabi” dalam QS. al-Baqarah(2): 124, yang berbunyi:
…إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا…
Terjemahnya:
…"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (Ibrahim) imam bagi seluruh manusia."…

2. Imam berarti “Pedoman”, dapat dijumpai dalam QS. al-Ahkaf (46): 12, yang berbunyi:
…وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً…
Terjemahnya:
Dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa sebagai imam (petunjuk/pedoman) dan rahmat…

Hal yang sama dapat juga dilihat dalam QS. Hud (11): 17, yang berbunyi:
…وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً…
Terjemahnya:
…Sebelum Al Quran itu telah ada Kitab Musa yang menjadi imam (petunjuk/pedoman) pedoman dan rahmat…

3. Imam berarti “kitab/buku/teks” seperti dalam QS. Yasin (36): 12, yang berbunyi:
وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ…
Terjemahnya:
…Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam imam (Kitab Induk) yang nyata (Lauh Mahfuzh).

4. Imam berarti “Jalan lurus” seperti dalam QS. al-Hijr (15): 79, yang berbunyi:
فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُبِينٍ
Terjemahnya:
maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota itu (yaitu kota Kaum Luth: Sadom dan Aikah) benar-benar terletak di imam (jalan umum) yang terang.

5. Imam berarti “Pemimpin” seperti dalam QS. al-Furqan (25): 74, yang berbunyi:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Terjemahnya:
Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa.

Konsep imam yang berkembang dalam sejarah Islam, mempunyai beberapa pengertian paling tidak ada tiga, yaitu:
1. Imam dalam arti “pemimpin shalat jama’ah”.
2. Imam dalam arti “pendiri madzhab”.
3. Imam dalam arti “pemimpin umat”.
Dapat disimpulkan bahwa imamah merupakan membimbing dan memimpin manusia. Secara faktual, imam adalah seorang yang berusaha melaksanakan hukum Allah secara aktual dengan memperoleh kekuatan yang diperlukan guru mengatur sebuah pemerintahan yang suci; dan jika ia tidak mampu untuk mengelola sebuah pemerintahan resmi, maka dia harus berbuat sebaik mungkin dalam melaksanakan hokum-hukum Allah secara personal dan sosial. Imam dalam arti pimpinan umat sering disepadankan dengan khalifah, hanya saja imam dipergunakan oleh kalangan Syi’ah, sedangkan khalifah oleh Sunni. Di sini imamah mempunyai arti yang sama dengan khalifah sebagai konsep politik. Namun, pada perkembangan selanjutnya imamah diberi muatan ideologis dan teologis sehingga tidak murni lagi sebagai konsep politik, melainkan berkembang menjadi pemimpin spiritual yang mempunyai makna sakral. Kronologis konsep imamah pada mulanya bermotif politik, namun dalam dialektika akademik dan spiritual, maka imamah menjadi sebuah konsep kehidupan sosial dan bernegara.

2. Prinsip-prinsip Kepemimpinan
Bila menelusuri ayat-ayat al-Qur’an terdapat beberapa prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain:
a. Amanah
Manusia sebagai khalifah di muka bumi diperintahkan untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya terdapat pada QS. An-Nisa: 58, yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Ayat ini diwahyukan ketika Nabi setelah, memperoleh kemenangan sepenuhnya, tiba di Makkah. Rasulullah saw. memanggil Utsman bin Thalhah, pemegang kunci Ka’bah, dan mengambil kunci tersebut darinya untuk membersihkan Ka’bah dari berhala. Setelah pekerjaan tersebut selesai, maka Abbas, paman Nabi, meminta kepada beliau agar memberikan kunci tersebut kepadanya. Dalam kenyataannya, kedudukan sebagai pemegang kunci Ka’bah merupakan kedudukan yang tinggi dan terhormat di kalangan bangsa Arab. Tetapi, berlawanan dengan keinginan Abbas, setelah membersihkan Ka’bah dari kotoran bergala, Nabi saw. lalu menutup pintu Ka’bah dan mengembalikannya kepada Utsman ibn Thalhah sementara beliau membacakan ayat di atas.
Surah an-Nisa: 58 ini suatu ketentuan umum yang dipahami secara eskplisit menyatakan”sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pihak yang berhak menerimanya”. Ayat di atas ketika memerintahkan menunaikan amanat, ditekankan bahwa amanat tersebut harus ditunaikan kepada ahliha (pemiliknya), dan ketika memerintahkan menetapkan hokum dengan dalil, dinyatakannya “apabila kamu menetapkan hokum di antara manusia”. Ibn Jarir menyatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada para pemimpin umat agar menunaikan hak-hak umat dan menyelesaikan perkara yang diserahkan kepadanya ditangani dengan baik dan adil. Dan ini merupakan tugas pemimpin untuk menegakkan hokum Tuhan sebagaimana terdapat dalam QS. An-Nisa: 105, yang berbunyi:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمً

Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.

Pada ayat ini dikemukakan secara tegas bahwa al-Qur’an yang berisi hokum-hukum yang benar diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dimaksudkan agar mengatur kehidupan masyarakat dengan aturan-aturan yang diwahyukan dan ajaran-ajaran yang diturunkan Allah swt. Karena itu, Nabi Muhammad saw. dilarang membela orang-orang yang culas sebab dengan begitu ia dapat menjadi penantang kebenaran yang dibawanya.
Dalam QS. Al-Maidah: 48, yang berbunyi:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Terjemahnya:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Dalam ayat di atas, diperintahkan kepada Nabi saw. agar menegakkan atau menjalankan hukum Tuhan yang diturunkan kepadanya di antara ahl al-kitab (orang Yahudi dan Nasrani) yang berada dalam wilayah yuridiksinya. Hal itu dimungkinkan karena hokum yang terkandung dalam al-Qur’an mencakup aturan-aturan kehidupan yang ada dalam kitab suci mereka. Kedua ayat di atas juga melarang Nabi menuruti kehendak mereka, sebab seperti yang dikemukakan dalam ayat ketiga, mereka itu berusaha memalingkan Nabi saw. dari aturan-aturan Tuhan (lihat QS. Al-Baqarah: 120; QS. Al-Shaf: 8; dan QS. Al-Taubat: 32).
Prinsip ayat-ayat di atas yang diturunkan dan dikhususkan kepada Nabi saw. sebagai Nabi dan pemimpin pada masa itu dapat dihubungkan dengan para pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya, baik sebagai pemimpin umat maupun pemimpin dalam rumah tangga (suami). Karena dengan menjalankan prinsip amanah dan menjalankan hukum-hukum Tuhan, maka kehidupan akan berjalan dengan baik. Hal ini dapat dipahami bahwa kekuasaan atau kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan dan berkewajiban membantu masyarakat dan memberikan pertolongan dalam memenuhi hak-hak. Selanjutnya, bahwa fungsi kekuasaan politik, baik dalam lingkungan Negara maupun keluarga pada prinsipnya adalah untuk menegakkan agama, sebagaimana yang tertera dalam QS. Asy-Syura: 13 yang berbunyi:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

Terjemahnya:
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

b. Adil
Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa seorang pemimpin harus menjalanka hukum-hukum Tuhan. Oleh karena itu, dalam menjalankan perintah dan hokum-hukum Tuhan dalam mengatur kehidupan dan pemenuhan hak-hak masyarakat yang dipimpinnya haruslah berlaku dengan adil, hal ini disebabkan para pemimpin selalu berhadapan dengan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok. Proses politik juga berhadapan dengan berbagai kelompok golongan. Seorang yang terpilih menjadi pemimpin harus mampu berdiri di atas semua golongan. Untuk itu, diperlukan sifat adil sebagaimana dalam QS. An-Nisa: 58, yang berbunyi:
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Terjemahnya:
…dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…

Hal ini juga ditegaskan dalam QS. Al-Maidah: 8, yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Mufassirin berbeda pendapat dalam menetapkan apa yang dimaksud dengan al-‘adl. Al-Baidawi menyatakan bahwa al-‘adl bermakna al-inshaf wa al-sawiyyat (berada di pertengahan dan mempersamakan). pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh al-Raghib dan Rasyid Ridha. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthb menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap orang. Ini berarti bahwa manusia mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Pengertian yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi, ia tidak melihat keadilan dari segi persamaan hak, tetapi menekankan aspek terselenggaranya atau terpenuhinya hak-hak yang telah ditetapkan menjadi milik seseorang.
Al-Qurthubi mengaitkan keadilan dengan hukum agama bahkan al-Syaukani dengan tegas menyatakan bahwa keadilan adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, bukan menetapkan hukum dengan pikiran. Tetapi pendapat ini ditolak oleh Muhammad Abduh dengan argumentasi sebagai berikut:
1) Menetapkan hukum dengan ketentuan agama bukanlah makna keadilan yang dimaksudkan dalam ayat ini. Makna tersebut ditunjuk oleh ayat yang lain, misalnya QS. Al-Maidah: 49. Segala sesuatu yang ditetapkan oleh agama pastilah sesuai dengan keadilan, tetapi bukanlah wujud keadilan. Keadilan ialah mengamalkan dan menerapkan sehingga hak dapat terpenuhi.
2) Allah telah menetapkan keadilan secara mutlak dalam sebagian surah-surah Makkiyah sebelum hukum-hukum agama ditetapkan. Dan ini berarti keadilan itu tidak sama dengan hokum agama.
3) Tidaklah semua masalah pergaulan dan perselisihan manusia diatur oleh al-Kitab dan Sunnah. Karena itu apa yang telah dijelaskannya merupakan penolong yang baik untuk mencapai keadilan yang dimaksudkan. Sedangkan apa yang belum dijelaskan al-Kitab dan Sunnah, maka para hakim berkewajiban mencari keadilan sesuai dengan kemampuan mereka.
Bertolak dari pengertian ‘adl yang telah dikemukakan bahwa perintah menetapkan hukum dengan adil adalah agar penggunaan kekuasaan politik dan kepemimpinan suami dalam rumah tangga adalah prinsipnya untuk memelihara martabat kemanusiaan.
3. Syarat-syarat Pemimpin
Adapun syarat-syarat seorang pemimpin, baik pemimpin dalam pemerintahan maupun dalam keluarga adalah sebagai berikut:
a) Islam
Seorang pemimpin harus beragama Islam, dan menjadi kewajiban bagi umat Islam memilih pemimpin muslim dalam wilayah masyarakat Islam.
b) Berakal Sehat dan sudah baligh
Seorang pemimpin harus memiliki jiwa dan akal yang sehat dan secara biologis harus sudah baligh, sehingga di dalam kepemimpinan Islam memiliki kewibawaan dan kehormatan.
c) Pandai dalam hukum Syariat Islam
Seorang pemimpin harus cerdas dan tercerahkan, yakni mampu memahami masalah yang dihadapi dan dapat mencarikan solusi yang tepat, dan semua persoalan diselesaikan sesuai semangat hukum Islam.
d) Pemberani
Seorang pemimpin harus berani dalam mengambil kebijakan demi kepentingan bersama, berani mengambil resiko, berani dikritik untuk perbaikan, berani menghadapi musuh dari luar dan dalam, dan berani membela kebenaran dan syiar ajaran Islam.
e) Arif dan Bijaksana
Seorang pemimpin harus arif dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah, arif dan bijaksana dalam membangun tatanan social, arif dan bijaksana dalam mendorong rakyatnya untuk taat dan patuh kepada hukum, baik hokum positif maupun hukum Allah.
f) Ketaqwaan
Seorang pemimpin harus menjadi teladan dalam keimanan dan ketaqwaan, bersikap wara’, istiqamah, komitmen yang tinggi, qana’ah, sabar, dan sebagainya. Sikap taqwa akan mendorong rakyat untuk dinamis dan bersikap fastabiqul khairat dalam membangun Islam sebagai rahmatan lil alamin.


III. Penutup
Dari pembahasan di atas, dapatlah ditarik simpulan adalah sebagai berikut:
1. Khalifah secara tekstual yaitu mengganti, belakang, perubahan, menjadikan, orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya, sedangkan secara kontekstual dapat dipahami sebagai, pertama, kepala Negara dalam pemerintah dan kerajaan Islam masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan term sulthan; kedua, khalifah juga bisa berarti dua macam, (a) yang diwujudkan dalam jabatan sulthan atau kepala Negara, dan (b) fungsi manusia itu sendiri di muka bumi sebagai ciptaan Allah yang sempurna; kemudian imamah secara tekstual yaitu menuju, menumpu, atau meneladani, sedangkan secara kontekstual adalah pemimpin umat baik secara spiritual maupun politik (sebagaimana dalam konsep syi’ah).
2. Teori kepemimpinan dalam konsep khalifah dan imamah dimulai dengan visi menebarkan rahmah, misi mekonstruk tata hidup yang seimbang dan harmony dengan Islam, dasar keimanan kepada Allah, asasnya mencari keridhaan dan bekerja secara ikhlas, prinsipnya amanah dan adil, serta syaratnya cerdas spiritual, intelektual, emosional, dan vokasional.

DAFTAR PUSTAKA

Anis, Ibrahim, et.al., Al-Mu’jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma’arif, 1972)
Baidhawi, Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar al-, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Jilid I, (t.tp.: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1939)
Budiarjo Miria,m, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Cet. X, Jakarta: Gramedia, 1986)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 2002)
“Encyclopedia of Shia” diterjemahkan oleh Rofiq Suhud dkk, dengan judul Ontologi Islam: Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi, (Cet. II, Jakarta: al-Huda, 2007)
Ghita’, Muhammad ‘Ali Kashif Al-, Asl al-Shi’ah Wa Usuliha, (t.t.p. : Maktabat al-Thaqafah al-Islamiyyat, t.t.)
Imam, Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur’an, terj. R. Hikmat Danaatmaja, (Jakarta: al-Huda, 2003)
Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Edisi Baru, (Jakarta: Rajawali Press, 1992)
Manzur, Ibn, Lisan al-Arab, Vol, XIV. (Kairo ;al-Dahr al-Misriyyah, t.t.)
Maraghy, Ahmad Musthafa al-, Tafsir al-Maraghiy, terj. Bahrun Abu Bakar, Juz. I, (Semarang: Thoha Putra, 1974)
Maududi, Abu A’la Al-, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1984)
Munawar, H. Said Agil Husin Al-, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Cet. 3, Ciputat: Ciputat Press, 2004)
Nasution, Harun, Islam Rasional-Gagasan dan Pemikiran, Cet. IV, ( Bandung : Mizan, 1996 )
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals And Realities of Islam, (London : Geroge Allen & Unwin Ltd, 1972)
Nawawi, Hadari, Kepemimpinan Menurut Islam, (Cet. I, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993)
Qurthubi, Al-, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Al-Qashirat: Dar al-Kitab al-Arabi, 1967)
Rayes, Muhammad Diya’ al-Din Al-, al-Nazariyyat al-Siyasiyyat al-Islamiyyat, (Kairo : Maktabat al-Anjalu al-Misriyyat, 1960),
Siagian, Sondang P., Manajemen Sumber Daya Manusia, (Cet. VII, Jakarta: Bumi Aksara, 1998),
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid I, (Ciputat: Lentera Hati, 2002)
-----------, Membumikan al-Qur’an-Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XXI, ( Bandung: Mizan, 2000 )
Zakariya, Ibn Faris bin, Mu’jam Maqayis al-Lughat, (Mishr: Musthafa al-Bab al-Halabi wa Syirkah, 1972)

SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM

A. Latar Belakang
Agama Islam yang diemban Rasulullah saw. sebagai penebar rahmah bagi alam dan dijadikan manusia sebagai khalifah dalam mengemban misi eskatologis. Olehnya itu, Islam bersifat universal dan mencakup segala aspek, sehingga dapat tumbuh dan berkembang bebas dari klaim-klaim eklusivitas, rasialitas ataupun linguistik dengan kemajemukan budaya dan tradisi (turas).
Jejak historis melukiskan bahwa Islam senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi (salih li kulli zaman wa makan) ketika berhadapan dengan modernitas dan realitas sosial. Persentuhan Islam dengan fenomena-fenomena inilah yang menyebabkan keharusan umat Islam untuk melakukan pembaharuan (tajdid, al-islah) terhadap paham keislaman tersebut. Sebab tanpa langkah seperti ini Islam akan menjadi statis dan rigid terhadap dinamika sejarah. Padahal Islam sangat identik dengan dinamisasi, gerakan sosial (social movement) dan inovasi ilmiah, yang esensinya adalah ijtihad.
Di antara sahabat Rasulullah saw. ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash. Ini masih ditambah dengan kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan, penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam garis-garis hukum yang global (khutuuth ‘ariidah), yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Dengan demikian, akan dapat digali (diinstinbath) berbagai cara pemecahan setiap masalah yang muncul dalam kehidupan manusia. Islam menjadikan cara-cara pemecahan problema kehidupan tersebut bersandar pada suatu landasan fikriyah (dasar pemikiran) yang dapat memancarkan seluruh pemikiran tentang kehidupan.
Dinamika Islam tetap eksis dalam bentangan sejarah peradaban manusia. Secara garis besarnya, sejarah (pemikiran Islam) dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800-sekarang). Periodisasi ini mendeskripsikan perjalanan panjang dialektika intelektual muslim, yang memberikan interpretasi wahyu dalam konteks ruang dan waktu. Hasil tradisi intelektual dan epistemologi menjadi alur peradaban Islam sepanjang sejarah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan diskursus tersebut, dapatlah dirumuskan masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana periodisasi pemikiran dalam Islam?
2. Apakah penyebab kebangkitan, kebekuan, dan reformasi pemikiran dalam Islam?

C. Periodisasi Pemikiran Islam
1. Periode klasik (650-1250)
Periode klasik dapat dibagi ke dalam dua fase, yaitu fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000); dan fase disintegrasi (1000-1250). Fase pertama (650-1000) yaitu zaman dimana wilayah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke India di Timur. Wilayah itu berada dalam teritorial khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di masa inilah berkembang dengan pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqh, filsafat, sufisme dan termasuk teologi.
Dari periode ini ulama–ulama fiqh yang mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai. Fase kedua (1000-1250) adalah persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik politik seringkali melanda sehingga hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Baghdad berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.
Terjadinya gelombang ekspansi pertama, semenanjung Arab, Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal. Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih 90 tahun (661 M – 750 M) dan kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah. Bani Abbasiyah (750 M – 1258 M) diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan dan sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India. Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada pengembangan pengetahuan. Motivasi akselerasi sains menjadi prioritas utama dalam pembangunan masyarakat Islam. Usaha massif umat Islam membuahkan sebuah peradaban yang gemilang di tengah masyarakat global.
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar Bait al-Hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan yang sangat bagus sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat. Para penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.
Buku-buku yang diterjemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber pengetahuan dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam selanjutnya, khususnya karya-karya klasik Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Beberapa karya dari kebudayaan Persia dan India hanya meliputi masalah-masalah astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran agama. Seperti karya Al-Biruni (w. 1048), sejarahwan dan astronom muslim terkemuka, Tahqiq ma li Al-Hind min Maqulah (Kebenaran Ihwal Kepercayaan Rakyat India). Dalam tulisannya itu ia menguraikan kepercayaan fundamental orang-orang Hindu dan menyejajarkannya dengan filsafat Yunani. Atau terjemahan Ibn Al-Muqaffa’ (w. 759) yang berjudul Kalilah wa Dimnah (Fabel-fabel Tentang Guru) diterjemahkan dari bahasa Sansekerta yang merupakan pengetahuan sastra Persia. Kolaborasi sains kauniyah dan laduniyah mendeskripsikan dogma Islam sebagai ajaran global profan dan transendetal.
Seperti yang dikatakan oleh Shaliba dalam bukunya, Al-falsafah Al-‘arabiyah, terbentuknya filsafat Islam terjadi dalam dua tahap. Pertama tahap penerjemahan dan kedua tahap produksi pengetahuan atau pemikiran. Setelah melewati tahap penerjemahan maka mulailah bermunculan filsuf-filsuf Islam yang mengambil jalur metode filsafat Yunani seperti yang dimulai dari al-Kindi hingga Ibnu Khaldun. Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat Islam sebenarnya adalah adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau Helenisme. Elaborasi karya klasik dengan dialektika dogma dan stigma masyarakat, melahirkan karya mutakhir pada zamannya yang bercorak Islam.
Pada prinsipnya, motivasi pengembangan sains dan filsafat dalam pemikiran keislaman, yaitu pertama motivasi kultural (ba’its tsaqafi) yakni adanya kebutuhan untuk berdebat dengan orang-orang dari agama lain dan membujuk mereka untuk memeluk Islam, dan kedua karena alasan praktis dalam memperbaiki pola kehidupan. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu. Umat Islam dianjurkan untuk mempelajari logika Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari luar. Kemudian ilmu pengetahuan dari luar yang dibutuhkan umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu Kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan falak (astronomi). Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan hajat hidup umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu Shalat, hukum faraidl (pembagian harta waris), masalah kesehatan dan lain sebagainya.
Gairah penggalian terhadap ilmu pengetahuan telah mendorong para ilmuan Islam untuk dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru seperti; di bidang kedokteran (Muhammad Ibn Zakariyyah Ar-Razi: Kitab Al-Judari wal Hashbah: buku tentang cacar dan campak. Abu Ali Al-Husain Ubn Zina: Al-Qahun Fi-ith-Thiha : Pedoman ilmu Kedokteran), Farmasi (Abdullah bin Ahmad Ibn Baytar: Jami’ Fi adwiyat al-Mufradah: Bahn lengkap tentang ramuan obat sederhana) Astronomi ( Abu Rasyihan al-Biruni: Maqolid Ilm Al- Hay’ah : Kunci ilmu bintang-bintang) Pertanian (Abi Zakariyya Ibn Awwam: Kitab Al Filahah : Biku Ilmu pertanian) Ilmu Hewan (Syaraf Az-Zaman Al Mawazi: Thabay Al Hayawan : Ilmu tentang tabiat binatang. Lahirnya cendekiawan dan ilmuan muslim mencitrakan Islam menjadi referensi peradaban pada masanya.
Kegemilangan hasil ijtihad dan kreatifitas umat Islam menjadikan peradaban Islam yang tinggi dan berwibawa. Adapun faktor kebangkitan pemikiran keagamaan karena adanya paradigma Islam yang bercirikan:
1) Kedudukan akal yang tinggi
2) Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
3) Kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan Hadits yang sedikit sekali jumlahnya.
4) Percaya pada adanya sunnatullah dan kausalitas
5) Mengambil dari metaforis dari teks wahyu
6) Dinamika dalam sikap dan berpikir.
Apresiasi fitrah kemanusiaan yang tinggi seperti penghargaan terhadap akal, kebebasan berkreasi, pijakan holistik pada normatif Islam yang kental, apresiasi fenomena fisika yang tinggi, kreatif terhadap metodologi interpretasi wahyu, dan memiliki visi ke depan, yang menjadi pemicu bagi akselerasi peradaban Islam tinggi.

2. Periode Pertengahan (1250-1800)
Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I (1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini ‘benih’ perpecahan dan disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan Syai’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geografis dunia Islam mengalami perpecahan menjadi nation-state kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
Fase II adalah Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khususnya di bidang literatur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam atau masih sangat rendah.
Periode ini biasanya dikenal dengan zaman kebekuan atau kejumudan. Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, statis, tiada perubahan. Keadaan seperti ini melanda umat Islam sejak akhir abad 13 hingga memasuki abad 18 M. Pemikiran rasional yang dulu mendapat tempat yang proporsional digantikan dengan pemikiran tradisional. Adanya pengingkaran terhadap potensi manusia, potensi rasionalitas metafisis: yang hanya memandang hakikat dari titik fenomena; nilai medium, nilai historis, nilai kelas, nilai substansi materi: tampak memiliki segalanya kecuali hakikat. Hal tersebut, Heidegger (filsuf Jerman) menggambarkan “…bahwa kita tak pernah memiliki esensi. Sedangkan manusia lampau, bahkan mereka yang tak mengerti sama sekali, justru telah memilikinya…” akibatnya, umat Islam mengalami kegersangan teologis dan humanis, yakni kegersangan iman yang kreatif, kegersangan rasio yang paradigmatik, kegersangan indra alternatif yang selektif, dan kegersangan estetika.
Kemandekkan dan kejumudan pemikiran keagamaan terjadi, banyak mempersepsikan, sebagai akibat polemik akademik antara ulama rasionalis dan ulama tradisionalis, yang tampaknya ‘dimenangkan’ oleh ulama tradisionalis. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya Tahafut al-Falasifa (Kerancuan atas Para Filosof). Ia mempersoalkan penggunaan Aristotelianisme (sebagai dasar pijakan paripatetisme) dalam filsafat Islam. Ibnu Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi (257 H/870 M), adalah dua filosof muslim yang menjadi obyek kritikan keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan kesalahan dalam logika pemikiran metafisika (ketuhanan).
Namun Ibnu Rusyd (1126-1198 M), mengkritisi pandangan Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut at-Tahafut. Ibnu Rusyd membangkitkan gairah intelektual dengan pendekatan filosofis-rasional, yang kemudian diadopsi oleh Barat sebagai jalan menuju pencerahan. Aspek rasionalitas filsafat Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd membidas balik kritik Al-Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Beliau diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filosof muslim. Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning) yang sangat rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan antara filsafat dan agama setelah Al-Kindi , filosof pertama yang memadukan keduanya. Bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah agama yang filosofis karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof muslim di atas berserta filosof lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan filsafat bertentangan.
Pemikiran Islam kritis dan rasional pasca-Ibnu Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam. Namun, ada pandangan yang menyatakan kemunduran pemikiran tersebut tidaklah sepenuhnya bisa dilemparkan kepada pengharaman Al-Gazali terhadap filsafat, namun ada pula faktor lain. Penyebab kemunduran Islam menurut Syakib Arsaam adalah:
1) Tidak bisa membedakan antara yang halal dan haram.
2) orang tidak mengerti dan tidak menyadari dirinya bahwa ia tidak mengerti.
3) Rusaknya akhlak, terlebih dikalangan pemerintah dan ulama.
4) Sikap pengecut
5) Putus asa
6) Lupa akan sejarah masa lampau.

Karena perhatian dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan atau filsafat rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini adalah teologi Jabariyyah. Hal ini menjadi cikal bakal kebekuan dan kejumudan dinamika pemikiran yang menjadi cirinya adalah:
1) Kedudukan akal rendah
2) Ketidakbebasan dalam kemauan dan perbuatan
3) Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma
4) Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas
5) Terikat pada arti literal al-Qur’an dan Hadits
6) Statis dalam sikap dan berpikir.
Kemudian Hasan Hanafi menyatakan, sebagaimana yang dikutip A. Khudori Soleh, bahwa penyebab kejumudan dan kebekuan pemikiran keagamaan adalah (1) Eksklusifisme. Karena adanya pentokohan, bahkan pensakralan individu, sikap tradisionalistik menggiring terbentuknya sikap-sikap eksklusif yang hanya menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak keberadaan fihak lain. (2) Subjektifisme. Sebagai akibat lanjut dari eksklusifisme, orang-orang kelompok ini menjadi kehilangan sikap objektifitas dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan salah tidak lagi didasarkan atas persoalannya melainkan lebih pada asalnya, dari dan oleh kelompok mana atau tokoh siapa. (3) Determinisme. Sebagai akibat lebih lanjut dari dua konsekuensi diatas, dimana masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka menjadi terbiasa menerima “sabda” sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada keinginan untuk merubah apalagi menolak.

3. Periode modern (1800-sekarang)
Periode ini merupakan zaman kebangkitan kembali (reformasi) akibat dari tenggelamnya tradisi intelektual dalam beberapa abad. Kesadaran akan kemajuan di dunia Barat dan penderitaan akan kolonialismenya, menuntut intelektual muslim mengambil dan mengembalikan peradaban Islam yang gemilang di masa silam. Dapat dipastikan bahwa penetrasi dan perkembangan modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi dengan Barat dalam rentang waktu yang sangat panjang, setidaknya menurut Harun Nasution ada empat tahapan, di antaranya adalah:
1) Koneksasi Pertama, yaitu permulaan abad ke-VII meluasnya wilayah Islam mencakup Yordania, Palestina, Suria, Irak dan Mesir yang ketika itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bizantium yang berpusat di Barat.
2) Koneksasi Kedua, yaitu saat berkembangnya pemikiran rasional-ilmiah di kalangan sarjana Muslim yang menghasilkan filsafat dan sains Islam zaman klasik (650-1250 M).
3) Koneksasi Ketiga, yaitu saat terjadi transformasi intelektual Islam dengan Barat yang berakibat pemikiran rasional-ilmiah Islam dibawa ke Barat.
4) Koneksasi Keempat, yaitu saat terjadinya penetrasi dan penjajahan di dunia Islam yang bukan hanya melibatkan kekuasaan politik-meliter, tetapi juga pemikiran baru tentang sains dan teknologi modern.

Di kalangan orientalis sendiri (Gibb dan Smith), menilai reaksi modernisasi yang dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “apologetis” terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris Kristen dengan menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi dipandang sebagai “romantisisme” atas kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam. Akan tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.
Tuntutan modernisasi tampaknya di kalangan sarjana Muslim tidak sepakat kolektif atau meminjam istilah Yusril “acapkali digunakan secara tidak seimbang dan jauh dari sikap netral”, kalau modernisasi itu dikaitkan apalagi dikatakan sesaui dengan ajaran Islam karena alasan sejarah bahwa lahirnya modernisasi pada awalnya bukan berasal dari “rahim” ajaran Islam melainkan muncul dan perkembangan keagamaan dikalangan Kristen, sehingga tidak mengherankan kalau umpamanya kalangan fundamentalis, seperti Maryam Jameelah menganggap modernisasi adalah usaha “membaratkan” dan “mensekulerkan” dengan menuduh tokoh modernis, seperti Afghânî (1838-1897), ‘Abduh (1849-1905) hingga Thaha Husayn (?) sebagai “agen Barat”.
Tentang ide-ide Muhammad Abduh, para sarjana berbeda dalam memformulasikannya. H.A.R. Gibb umpamanya merangkum ide tersebut dalam empat bagian. Pertama, Pembersihan dari bid’ah dan khurafat. Kedua, Pembaharuan pendidikan di Azhar. Ketiga, Perumusan kembali ajaran Islam sejati dengan pemikiran modern. Keempat, Pembelaan Islam terhadap pengaruh Barat. Sedang Harun Nasution menyatakan secara implisit ide Pembaharuan yang menjadi titik fokus Muhammad Abduh dalam beberapa hal. Pertama, Pembongkaran kejumudan dalam tradisi pemikiran. Kedua, Menyerukan diadakannya ijtihad, tidak taqlid. Ketiga, Penghargaan terhadap akal. Keempat, Kesesuaian antara ilmu pengetahuan modern dengan agama. Kelima, Perbaikan sistem pendidikan. Keenam, Pemikiran politik.
Demikian juga sebaliknya di kalangan tokoh-tokoh yang menyebut dirinya sebagai modernis menuduh kalangan yang menolak modernisasi sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial” dan “anti intelektual”, bahkan menurut kesimpulan ‘Alî Syarî‘atî, “kemacetan pemikiran yang diakibatkan kalangan fundamental menghasilkan Islam dekaden”, sehingga desakan modernisasi semakin terasa setelah melihat keterbelakangan dunia Islam vis a vis peradaban Barat. Sejarah mencatat bahwa loncatan-loncatan kreasi dan inovasi intelektual dalam Islam terjadi justeru ketika terjadi kontak dan pergulatan dengan Barat. Hal ini terjadi begitu menyolok ketika Islam berjumpa dengan warisan intelektual Yunani. Karya-karya intelektual Islam terbaik dan amat monumental terbentuk pada abad-abad pertengahan di mana pergulatan berlangsung begitu intens antara filsafat Yunani dan pemikir-pemikir muslim Arab Persia khususnya.
Mulai dari abad ke-19 timbul di dunia Islam aspek pembaruan, dikenal dengan nama perkembangan modern Islam, yang intinya adalah memperbarui pemikiran dalam Islam agar sesuai dengan perubahan-perubahan yang dibawa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Di sini terdapat juga dua aliran, aliran rasional yang terikat hanya kepada al-Qur’an dan hadis, dan aliran tradisional yang terikat selain kepada kedua sumber itu, juga kepada ijtihad ulama masa silam.
Menurut Ibnu Taimiyah, pembaruan dalam Islam timbul karena;
1) Membudayanya khurafat di kalangan kaum muslimin
2) Kejumudan atau ditutupnya pintu ijtihad dianggap telah membodohkan umat Islam
3) Terpecahnya umat Islam sehingga sulit maju dan membangun.
4) Kontak antara Barat dan Islam telah menyadarkan kaum muslimin akan kemunduran.

Gelombang modernisasi semakin tak terelakkan, telah merambah dalam konstruksi pemikiran dan corak pemahaman keagamaan Islam. Pada akhir abad 18, Islam memberikan kesempatan modernisasi hingga sekarang ini. Para reformis seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Amir Abdul Qadir al-Jazairy, Afghany, Abduh, As-Sanusy, al-Kawakiby, Muhammad Iqbal, Zia Tju Kalb, Khalid Muhammad Khalid, Malik bin Nabi, dan lainnya, telah membuka penafsiran baru ijtihad secara formulatif bagi kehidupan modern. Suatu rekayasa ijtihad yang member dukungan solusi bagi tuntutan modernitas.
Pembaruan menempati satu sisi penting dan mencuat ke permukaan di abad ke-18 dan ke-19. Bagi dunia Islam umumnya, pembaruan di India termasuk pembebasan intelektual yang cukup berpengaruh dalam kerangka mobilitas umat Islam. Apalagi akar-akar pembaruan melibatkan tokoh penting yang membawa lembaga pendidikan turut memainkan peranan, seperti Perguruan Tinggi Deoband dan Aligarh.
Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi saw dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi saw yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal Nabi saw di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’i untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.
Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup. Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya-sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad-menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang.
Hal ini menjadi penting karena menurut seorang filosof Perancis abad XX Michel Foucault yang dikutip oleh Wahyudi menyatakan “Manusia disetiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara tertentu. Setiap abad atau zaman memiliki ciri atau corak epistimologi sendiri-sendiri.” Sesuai dengan semangat Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, cendekiawan senantiasa membumikan al-Qur’an dan hadits sesuai konteks sosiokultural dan dialektika intelektual.
Mencermati perkembangan pemikiran Islam kontemporer, menurut A. Khudori Soleh, setidaknya ada lima trend besar yang dominan, yaitu:
1. Fundamentalistik, yaitu kelompok pemikiran yang sepenuhnya percaya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat dan manusia. Islam sendiri telah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga tidak butuh segala metode maupun teori-teori dari Barat. Tokoh yang cenderung berpikiran fundamentalis adalah Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, al-Maududi, Said Hawa, Anwar Jundi dan Ziauddin Sardar, dan di Indonesia ada Abu Bakar Ba`asyir, Ja`far Umar Thalib, Habib Habsyi.
2. Tradisionalistik (salaf), yaitu kelompok pemikiran yang berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah mapan, seluruh persoalan umat telah dibicarakan secara tuntas oleh para ulama pendahulu. Kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikiran Husein Nasr, Muthahhari, Naquib al-Attas dan Ismael Faruqi.
3. Reformistik, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha merekontruk warisan-warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran-tafsiran baru. Tradisi yang ada harus dibangun kembali secara baru (i`âdah buniyat min al-jadid) dengan karangka modern dan prasyarat rasional agar bisa tetap survive dan diterima dalam kehidupan modern. Kecenderungan pemikiran ini, antara lain, dapat dijumpai pada pemikir-pemikir reformis seperti Hasan Hanafi, Asghar Engineer, Bint al-Syathi, Amina Wadud, M. Imarah, M. Khalafallah dan Hasan Nawab.
4. Post-tradisionalistik yaitu kelompok pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. seluruh bangunan pemikiran Islam klasik (turâts) harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisa terhadapnya. Kecenderungan dekonstruktif ini tampak jelas pada pemikiran tokoh-tokoh seperti Arkoun, Jabiri, Syahrur, Abd Allah A. Naim, Nasr Hamid Abu Zaid, Fatima Menissi dan Najib Mahfuz. Di Indonesia Ulil Abshar, Masdar F. Mas`udi.
5. Modernistik, yaitu kelompok pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis. Keharusan berpikir kritis dalam soal-soal kemasyarakatan dan keagamaan, penolakan terhadap sikap jumûd (kebekuan berfikir) dan taqlîd. Kassim Ahmad, Thayyib Tayzini, Abd Allah Arwi, Fuad Zakaria, Zaki Nadjib Mahmud, dan Qunstantine Zurayq.

D. Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapatlah ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran Islam sejarah (pemikiran Islam) dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800-sekarang). Periodisasi ini didasarkan pada indikator akselerasi ilmu pengetahuan (sains), baik dalam disiplin ilmu keagamaan maupun dalam ilmu humaniora dan fisika.
2. Dinamika pemikiran Islam mengalami kebangkitan, kebekuan, dan reformasi disebabkan oleh apresiasi mempertahankan eksistensi akidah dan territorial terhadap tantangan akademik dan fenomena sosial, penghargaan kepada ilmu pengetahuan (sebagai hasil interaksi peradaban), apresiasi kepada rasio, dukungan penguasa (political will, dana, dan sebagainya) dalam kegiatan keilmuan, interpretasi ijtihad dalam konteks istinbath hukum, dan sebagainya.
3. Pada prinsipnya, tokoh intelektual tidak ada yang bermaksud untuk merendahkan atau menahan lajunya pemikiran, namun generasi di belakangnyalah yang mengaburkan maksud dan tujuan intelektual tersebut. Proses pembacaan dan pemahaman yang dangkal, menjadikan generasinya memberi asumsi sebagai teori yang baku.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1991)
Amin, Ahmad, Zuamaul Ishlah fil Ashril Hadits, (Kairo: An-Nahdlah al-Mishriyah, 1948)
Abdullah, M. Amin, Agama antara Normativitas dan Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Arsalan, Syakib, Limadza Taakhkhar al-Muslimun wa Limadza Tagaddama Ghairuhum, (Berut: Dar al-Maktabat al-Hayat, 1957)
Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995)
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam: Ringkas, Ed. 1, (Cet. 3, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002)
Daftary, Farhad (ed.), Intelectual Traditions in Islam, diterjemahkan oleh Fuad Jabali & Udjang Tholib dengan judul “Tradisi-tradisi Intelektual Islam”, (Jakarta: Erlangga, 2002)
Daly, Peunoh, dan Quraish Shihab (Ed.), Ushul Fiqhi II: Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode Penggalian Hukum Islam), (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag, 1986)
Darban, Ahmad Adabiy, Islam Agama Paripurna (Cet. I; Yogyakarta: PWM Majelis Tabliq DIY, 1995)
Donohue, John, dan John L. Esphosito, “Islam In Transmition: Muslim Perpektives” diterjemahkan oleh Machnun Husain dengan judul Islam dan Perubahan: Ensiklopedi Masalah-Masalah (Jakarta: Rajawali Press, 1996)
Dzarqawiy, Ahmad Ibrahim Abbas al-, Nadzariyyah al-Ijtihad fi Assyasy al-Islamiyah, diterjemahkan oleh S. Agil Husain al-Munawwir, dengan judul “Teori Ijtihad dalam hukum Islam”, (Cet.I; Semarang: Toha Putra, 1983)
Esposito, John L., The Oxpord Encyclopedia of the Modern Islamic World, terj. Eva Y.N. et.al (Bandung: Mizan, 2002)
Fakhry, Majid, Sejarah Filsfat Islam Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan, 2002)
Gibb, H.A.R., “Modern Trend in Islam” diterjemahkan oleh Machnun Husain dengan judul Aliran-Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press’ 1993)
Ismail, Muhammad, “al-Fiqr al-Islamiy”, diterjemahkan oleh Nurkhalis dengan judul Bunga Rampai Pemikiran Islam, (Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1993)
Harahap, Syahrin, Al-Quran dan Sekulerisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husain, (Yogayakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994)
Heidegger, Martin, Existence and Being, (Chicago: Regnery, 1949)
Hidayat, Komaruddin, Islam dan Postmodernisme, dalam www.TokohIndonesia.com/ 12/11/2008
Jameelah, Maryam, Islam and Modernisme (Lahore: Muhammad Yusuf Khan, 1966)
Jurnal Al-Hikmah, Jumada Al-Ula-Jumada Al-Tsanniyah 1413/November-Desember 1992
Khafifi, Al-Syaykh 'Ali al-, “Al-Ijtihad fi 'Ashr al-Tabi'in wa Tabi'i 'l-Tabi'in," dalam Al-Ijtihad fi al-Syari'at al-Islamiyyah (Riyadl: Jami'at al-Imam Muhammad ibn Su'ud al-lslamiyyah, 1404/1984)
Leamen, Oliver, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung: Mizan, 2002)
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Cet.IV; Jakarta: Paramadina, 2000)
----------, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ‘at-i-Islamî (Pakistan), (Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1999)
Meyer, Frederick, A History of Ancient and Medieval Philosophy, (t.t., American Book Company, 1950)
Muhibbuddin, Muhammad, Periodisasi Sejarah Teologi Islam, dalam http: //moxeeb.wordpress.com /23/10/2008
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996)
----------, Islam Ditinjau Dari Bebabagi aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985)
----------, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Cet. 4, Bandung: Mizan, 1996)
Rahman, Budy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesatuan Kaum Beriman (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2001)
----------, Kontekstualisasi doktrin Islam (Jakarta: Paramadina, 1995)
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Traditional, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985)
----------, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984)
----------, Membuka Pintu Ijtihad, terjemahan Anas mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995)
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1991)
Rasyidi, M., Koreksi Terhadap Nurcholish Madjid Tentang Sekulerisasi, (Jakarta: Bulan Bintang).
Rusyd, Ibnu, Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, ed. M. Emara (Kairo:Dar al-Ma’arif, 1972).
Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998)
Shaliba, Jamil, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973)
Sho’ub, Hasan, Al-Islam wa Tahaddiyatul ‘Ashri, diterjemahkan oleh Muh. Lukman Hakiem dengan judul “Islam dan Revolusi Pemikiran: Dialog Kreatif Ketuhanan dan Kemanusiaan”, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)
Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003)
Stoddard, Lotrop, “The New World of Islam” diterjemahkan oleh Tudjimah dkk. dengan judul Dunia Baru Islam (Djakarta: t.tp . 1966)
Syihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998)
Wahid, Abdurrahman., et. al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Cet.II; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993)
Wahyudi, Islamologi Terapan,(Cet.I; Surabaya: Gita Media Press, 1997)
Zahrah, Abu, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr,t.th)