Selasa, 26 Mei 2009

PRINSIP-PRINSIP DASAR PANDANGAN ISLAM TENTANG MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam alam profan, terbangun sistim dan paradigm yang menjadi mainstream order social kehidupan manusia. Eksistensi manusia hidup dalam aktualisasi sistim dan paradigm tersebut, sehingga terwujud pola hidup harmoni dalam komunitas sosial. Manusia senantiasa hidup dalam interaksi dan komunikasi, baik secara vertikal maupun horizontal sebagai realisasi proses pematangan kemanusiaan dalam kehidupan sosial.
Manusia sebagai individu selalu berada di tengah-tengah komunitas social yang saling berinteraksi satu sama lain sebagai proses pematangan secara pribadi. Proses dari individu untuk menjadi pribadi, tidak hanya didukung dan dihambat oleh dirinya, tetapi juga didukung dan dihambat oleh kelompok sekitarnya. Manusia tidak terlepas dari ikatan sosial, ikatan emosional, ikatan kultural, dan ikatan intelektual dengan lainnya, sehingga individu menyerap masuk ke dalam komunitas dan merekonstruksi sebuah identitas masyarakat.
Islam sebagai agama sosial, membawa worldview konprehensif dan universal, doktrin humanis–etis, cita peradaban ideal, dituntut menjadi penuntun peradaban. Namun, masyarakat muslim kontemporer seringkali mengalami ‘erosi’ akidah dan stagnan pemikiran, serta kehidupan yang belum tentram. Tampak lemahnya ‘masyarakat sipil’ adalah kutukan besar umat Islam. Penindasan dan stagnasi masih menandai masyarakat muslim. Cita Islam belum merealita dan yang menggejala adalah nilai paradox dengan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Berbagai lini kehidupan muslim di bawah ‘cengkraman’ peradaban luar, integritas, identitas, kepekaan, kebersamaan, komitmen, etos kerja, dan kreativitas mulai redup dalam komunitas sosial. Sikap rasionalitas semakin memudar dalam masyarakat. Perceraian, kekerasan dan perbuatan tak senonoh dalam rumah memperlihatkan bahwa keluarga sebagai institusi sosial menghadapi bahaya kehancuran. Pembunuhan dan kekerasan lainnya, khususnya kekerasan membabi buta, menunjukkan bahwa masyarakat itu sendiri sudah hampir hancur. Sistim dan pranata sosial Islam semakin ‘kabur’ dalam membangun masyarakat berkeadaban (madani).
Umat Islam seringkali dianggap gagal dalam membangun masyarakat yang beradab. Sejumlah tindakan-tindakan permisif muncul, kehilangan nilai-nilai orisinil (Islam), berlaku kasar kepada kaum yang lemah, taat dan patuh tanpa reserve kepada para penguasa atau orang yang berduit (konglomerat), pelit kepada orang-orang fakir dan miskin, menghalalkan penggunaan harta milik umum, menghinakan wanita, lalai terhadap kepentingan umum, serta banyaknya tindakan-tindakan represif di hampir semua lini. Fenomena masyarakat Islam kontemporer berindikasi pada tereduksinya konsep-konsep Islam dalam mengaktualisasikan dalam konteks sosial.
Diskursus tersebut di atas menjadi isu sentral dalam mengkaji kembali konsep normatif dan historis Islam dalam membangun masyarakat yang berkeadaban. Prinsip Islam tentang bangunan masyarakat perlu dianalisis khususnya dalam wacana kontemporer.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berbagai fenomena menarik tentang stereotype masyarakat Islam kontemporer, sehingga berbagai konotasi negatif ditujukan kepada Islam. Hal ini perlu dibahas dalam masalah pokok yaitu bagaimana prinsip-prinsip dasar pandangan Islam tentang masyarakat. Masalah pokok ini dirinci dalam masalah urgen, yaitu:
1. Bagaimana term masyarakat dalam al-Qur’an?
2. Bagaimana prototype masyarakat menurut Islam?

II. PEMBAHASAN
A. Term masyarakat dalam Al-Qur’an
Masyarakat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah, masyarakat menjadi sebuah komunitas dimana manusia berkelompok dan hidup bersama serta membentuk wilayah demografis. Masyarakat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syarikah lalu diserap ke dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Istilah ini tersimpul unsur-unsur pengertian berhubungan dengan pembentukan kelompok atau golongan atau kumpulan. Individu-individu yang berkumpul dan berkelompok bersama karena motivasi, visi, profesi, dedikasi yang sama, dan seterusnya.
Maclver, J.L. Gillin, dan J.P. Gillin sepakat bahwa masyarakat menunjuk pada adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistim adat istiadat tertentu, yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu identitas bersama. Kelanggengan kehidupan masyarakat karena memiliki identitas yang sama, sehingga tidak ada ‘jarak’ dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Thomas Hobbes bahwa masyarakat merupakan hasil dari kontrak social antar individu.
Islam sangat menekankan kehidupan bersama bagi manusia. Manusia perlu menjaga interaksinya dan silaturahim dengan lainnya. Jadi sebelum mengkaji lebih jauh tentang masyarakat, terlebih dahulu akan dikaji term-term kunci masyarakat dalam al-Qur’an. Ada beberapa kata yang menunjuk kepada masyarakat atau kumpulan manusia, antara lain qawm, ummah, sya’b, dan qabail. Di samping itu, al-Qur’an juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala’, al-mustakbirun, al-mustadh’afun, dan lain-lain.
Perujukan masyarakat Madinah sebagai kerangka acuan dalam membangun tatanan masyarakat muslim modern merupakan keharusan. Dengan alasan, masyarakat Madinah adalah umat yang terbaik dalam pandangan Allah. Friman-Nya, dalam QS. Ali Imran (3): 110, yaitu sebagai berikut:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بلمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون باللّه...
Terjemahnya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”

Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya dijelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. Kemudian, Kuntowijoyo menilai term amar ma’ruf adalah sebuah proses humanisasi, nahy munkar adalah liberasi (pembebasan), dan iman kepada Allah adalah transendensi.
Syari’ati menilai ummah adalah ungkapan tentang kumpulan orang, dimana setiap individu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu, agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan. Atas dasar kepemimpinan yang sama. Imamah di sini adalah ungkapan tentang pemberian petunjuk kepada ummah ke tujuan itu, sehingga berkesimpulan, “tidak ada sebutan ummah tanpa adanya imamah”. Kemudian istilah ummah yang berasal dari umm bermakna sebagai kelompok manusia yang berhimpun karena didorong oleh ikatan-ikatan; a) persamaan kepentingan, sifat, dan cita-cita; b) agama; c) wilayah tertentu; d) waktu tertentu.
Kemudian istilah qawm (قوم) dapat ditemukan dalam firman Allah QS. Ar-Ra’d (13): 11, yaitu:
...إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم ...
Terjemahnya:
“…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”

Istilah kaum pada ayat tersebut, dinilai oleh Quraish Shihab sebagai sebuah perubahan yang berbasis sosial, bukan perubahan individu, kemudian kaum merupakan hukum kemasyarakatan yang bersifat universal, pelaku perubahan adalah Allah dan manusia, serta setiap perubahan harus dimulai dengan perubahan sisi dalam masyarakat kemudian Allah memberikan intervensi atas sebuah perubahan. Jadi, term qawm di sini cenderung menunjuk kepada komunitas dalam melakukan perubahan sebagai bentuk kesatuan (unity) dalam masyarakat secara menyeluruh.
Kemudian istilah sya’b dapat dijumpai dalam firman Allah QS. Al-Hujurat (49): 13, yaitu:
يايها الناس إنا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبا ءل لتعارفوااإن أكرمكم عند الله أتقكم إن الله عليم خبير

Terjemahnya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kata sya’b, hanya sekali ditemukan dalam Al-Qur’an, itupun berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, yaitu cabang dan rumpun. Menurut Abu ‘Ubaidah sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab bahwa kata sya’b diartikan kelompok non-Arab, sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab. Istilah sya’ab dan qabilah menunjukkan kelompok masyarakat non-Arab dan orang Arab, tidak ada lebih tinggi dan mulia statusnya kecuali dengan ukuran keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.
Nabi dan Rasul Allah membangun masyarakat yang samawi, yang oleh Muh. Arkoun menamakan pembangunan masyarakat Kitab, yaitu gagasan Wahyu menembus, mencerahkan dan memberi makna pada seluruh realitas konkrit, menjadi representasi peraturan sentral bagi kaum Yahudi, Kristen, dan Islam, dan mendominasi seluruh sejarah masyarakat yang tersentuh oleh gagasan wahyu. Gagasan masyarakat wahyu mampu menembus ruang dan waktu dari ‘sekat’ budaya dan peradaban masyarakat, sehingga model masyarakat alternatif kontemporer adalah masyarakat yang berbasis wahyu.
Namun demikian, masyarakat Islam mengalami kehilangan identitas oleh serangan imperialism. Imperialism menghancurkan semua aspek yang telah mapan dalam masyarakat seperti pertanian, industri, pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan prilaku. Hal ini menjadi tantangan baru bagi masyarakat muslim dalam mewujudkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman mutlak dalam kehidupan bermasyarakat di alam profan.

B. Prototype Masyarakat dalam Tinjauan Islam
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab umumnya terbangun dalam sistim yang kuat, yakni sistim paternalistik dan prestise yang kuat. Sistim kelas sebagai simbol sosial dapat menjadi icon perubahan, walaupun di sisi lain terdapat kelemahan yang signifikan, misalnya sikap egalitarian, liberasi, dan keadilan tidak tumbuh karena sistim sosial yang berpihak pada golongan elit. Hak setiap warga masyarakat terabaikan sehingga kehidupan yang langgeng berpihak kepada penguasa atau orang kuat (elit). Fenomena inilah yang menjadi objek rekonstruksi Islam dalam membangun order social yang berbasis prophetik dan humanis.
Manusia satu dengan lainnya hanya akan membentuk sebuah jamaah (kelompok), dengan dasar pemikiran dan perasaan yang sama, serta diterapkannya peraturan yang sama di komunitasnya. Sebab, yang mewujudkan interaksi antar sesama manusia adalah faktor kemaslahatan dan bila masyarakat telah menyamakan pemikirannya tentang kemaslahatan dan perasaannya, sehingga rasa senang dan bencinya menjadi sama, ditambah pula adanya penerapan peraturan yang sama, yang mampu memecahkan berbagai macam persoalan, maka terbentuklah interaksi antar sesama anggota masyarakat.
Menurut Ernest Renan bahwa komunitas manusia yang besar yang sehat dalam akalnya dan hangat di dalam hatinya membentuk kesadaran moral yang membentuk suatu bangsa. Sepanjang kesadaran tersebut menyatakan diri di dalam kekuatan untuk berkorban yaitu pengabdian seseorang individu untuk kepentingan umum, sepanjang itulah legitimasi akan hak hidupnya suatu bangsa. Kesadaran individu sebagai warga sangat dibutuhkan dalam membentuk masyarakat yang kokoh. Kesadaran ini lahir apabila masyarakat memberikan apresiasi positif terhadap hak dan kewajiban individu.
Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu Islam. Ideologi adalah Weltanchauung, yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi
adalah cara memandang realitas. Di antara realitas penting yang diulas ideologi adalah manusia. Manusia membentuk komunitas atas dasar kesamaan ideologi akan terjadi interaksi dan komunikasi yang efektif. Islam telah memberikan konsep dasar hak dan kewajiban setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Al-Qur’an menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan perbuatan bersama, bahkan kebangkitan, dan kematian bersama. Dari sini lahir gagasan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta fardhu kifayah dalam arti semua anggota masyarakat memikul dosa bila sebagian mereka tidak melaksanakan kewajiban tertentu. Masyarakat yang Qur’ani adalah masyarakat yang satu, yaitu satu dalam strata, satu dalam rasa, satu dalam jaya, satu dalam derita, dan sebagainya. Ikatan emosional dan persaudaran menjadi harapan al-Qur’an dalam membentuk masyarakat yang kuat, kokoh, mandiri, aman, dan sejahtera.
Mempelajari masyarakat berarti dapat berbicara struktur sosial, yaitu dalam hal lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran komunitas, kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenitas, diferensiasi sosial, pelapisan sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial, pengendalian sosial, pola kepemimpinan, ukuran kehidupan, solidaritas sosial, dan nilai atau sistim nilainya. Sistim dan struktur sosial inilah menjadi pembeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain, antara masyarakat maju dan masyarakat terbelakang, antara masyarakat beradab dan masyarakat biadab, dan sebagainya.
Ukuran kriteria suatu masyarakat maju atau terbelakang dan masyarakat beradab atau biadab, ada pada sistim dan struktur sosial yang dibangun. Bozeman menyatakan bahwa peradaban atau kebudayaan mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, dan pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Semakin dekat nilai kemanusiaan dan keilahian peradaban tersebut maka semakin modern dan beradabnya suatu masyarakat. Konteks masyarakat inilah yang dibangun dan diperjuangkan Islam.
Tipologi masyarakat berdasarkan identitas perkembangan peradaban dan kebudayaan terdiri atas dua, yaitu masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional diasumsikan sebagai masyarakat yang konsisten mempertahankan nilai dan kultur Islam, dan tidak terpengaruh dari kebudayaan luar, sedangkan masyarakat modern diasumsikan corak masyarakat yang bentuk kebudayaan dan peradaban mengikuti pola kehidupan, cara, ukuran, dan konsep Barat, termasuk teori, partai, persfektif pemikiran ideologis, dan politiknya. Pemetaan pola masyarakat tersebut lebih tertuju pada corak berpikir dan bertindak. Kemudian dalam masyarakat kontemporer, dikenal klasifikasi masyarakat yaitu masyarakat desa dan masyarakat kota. Ciri masyarakat desa dikonotasikan sebagai masyarakat tradisional, dan masyarakat kota dikonotasikan sebagai masyarakat modern. Klasifikasi masyarakat desa dan masyarakat kota lebih dilihat pada corak struktur dan ikatan sosial.
Masyarakat Islam terbentuk dari sekumpulan manusia, yang diikat oleh pemikiran, perasaan, dan peraturan yang Islami. Inilah yang mewujudkan adanya hubungan dan yang membuat jamaah itu menjadi sebuah masyarakat yang memiliki ciri khas (unik). Kesatuan visi, misi, dan landasan ideologi, umat Islam dengan cepat membangun suatu corak dan sistim masyarakat yang sesuai dan dapat memicu pencapaian cita-citanya. Masyarakat Islam kompak dan integral akan dapat menciptakan kehidupan yang manusiawi, beradab, dan penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan, yang diistilahkan baldatun tayyibatun wa rabbul ghafur.
Akselerasi sains dan globalisasi, transformasi hidup semakin cepat dan melahirkan konsep masyarakat yang unik dan kompleks. Isu demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan, keadilan, persamaan derajat (isu gender), menjadi ‘corong’ bagi penanaman sistim sosial yang kuat dan rasional sehingga lahir istilah civil society (masyarakat sipil). Kekuatan sipil menjadi keharusan dalam membangun masyarakat yang kuat dan harmoni. Rakyatlah yang mengatur sistim dan struktur sosial, memberikan mandat kepada penguasa untuk mengelolah aset dan masyarakat, dan masyarakat dibangun oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al-tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang arti harfiyahnya adalah kota. Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai "masyarakat madani", yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini, agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama ‘menggelinding dalam wacana masyarakat ideal, dan di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil society atau al-mujtama' al-madani. ... Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompok intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingannya. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralism).
Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa intelektual muslim yang berusaha membangun prinsip-prinsip masyarakat madinah di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadina (terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"). Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah agama (dina) yang excellent (paramount) yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban (madani).
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani (attributive dari kata al-Madani). Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah (masyarakat agama dan masyarakat madani) memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Menurut Antonio Rosmini, dikutip oleh Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: (1) Universalitas, (2) Supremasi, (3) Keabadian, (5) Pemerataan kekuatan (prevalence of force), (6) Masyarakat madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" (the common good), (7) sebagai "perimbangan kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu, (8) masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal, (9) Masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan (seigniorial or profit). Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat (a beneficial power), (10) Masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogen.
Masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjaga adab-adab (tata kehidupan)-nya yang masih asli dan tradisinya yang kokoh sebagaimana memelihara (membela) tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar jangan dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak dirampas dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan. Masyarakat Islam dimulai dari kesadaran individu akan hak dan kewajibannya, yakni adanya jiwa patriotism, harga diri, kekayaan atau asset, dan martabat pribadinya. Apabila di dalam masyarakat terdiri dari individu yang sadar hak dan eksistensinya, maka akan lahir masyarakat yang apik, sistemik, dan harmoni.
Masyarakat Qur'ani itu akan tampak pada ketertundukan mereka terhadap supremasi hukum Al-Qur'an. Al-Qur'an meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat muslim. Prinsip-prinsip tersebut adalah justice (keadilan), deliberation (syura), equality (persamaan), dan freedom (kebebasan). Prinsip dasar pembangunan masyarakat tersebut merupakan prinsip dasar universal, sesuai kebutuhan dasar kemanusiaan. Namun, aktualisasi prinsip dasar tersebut memiliki keragaman bentuk sesuai tradisi dan budaya lokal yang mengitarinya, misalnya di Indonesia memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan masyarakat yang ada di Timur Tengah, khususnya dalam sistim pemerintahan.
Ajaran yang diterima Nabi Muhammad Saw. berupa al-Qur’an melalui malaikat Jibril disampaikan kepada semua orang di setiap lapisan masyarakat, sekalipun tidak dengan cara memaksanya. Nabi Muhammad Saw. mengajak melakukan sesuatu dengan cara yang terbaik atau beramal sholeh, serta itu semua harus didasari oleh akhlak yang mulia, atau akhlakul karimah. Hal tersebut sejalan dengan penegasan oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa apabila agama dan akhlak saling memperkukuh satu sama lain, terciptalah kesejahteraan individu dan kesejahteraan masyarakat sekaligus. Kemudian Jalaluddin Rakhmat menyatakan dalam membangun keharmonisan dan ketentraman, internal Islam perlu menanamkan akhlak sosial yang tinggi. Dahulukan akhlak di atas fiqhi, tinggalkan fiqhi untuk memelihara akhlak atau pilihlah fiqh yang lebih memelihara persaudaraan ketimbang fiqhi yang menimbulkan perpecahan. Pemahaman fiqhi seringkali menjadi ‘embrio’ perpecahan internal umat Islam, sedangkan prinsip dasarnya ditinggalkan yaitu persaudaraan dan silaturahmi, dan perbedaan paradigm merupakan keniscayaan.
Kondisi masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah Saw, ditemukan sejumlah karakter yang menonjol, di antaranya integritas kepribadian yang tangguh, rasa ukhuwah (persatuan dan kesatuan) yang amat kuat, kebebasan berpikir yang terkendali, sikap adil dan objektif yang dominan, dan sebagainya. Fenomena masyarakat Madinah yang dibangun Rasulullah Saw, merupakan masyarakat yang pluralis dari segi ras, agama, adat, budaya, dan sebagainya, sehingga perjuangan nilai kemanusiaan mulai terwujud, mobilitas sosial mulai berjalan dengan baik, serta sistim dan struktur sosial terlihat rasional. Komunitas Madinah memiliki tiga ciri, yaitu:
1) Ia memberikan sebuah orientasi yang ideal: seluruh tujuan Muhammad adalah membangung sebuah kehidupan yang saleh (a godly life), dan komunitas menjawabnya sesuai dengan tujuan ini.
2) Ia menyodorkan suatu hubungan pribadi di dalam kelompok tersebut sebagai hamba Tuhan yang bertanggungjawab.
3) Ia menyajikan suatu homoginitas kultural di dalam kelompok.
Sistim sosial yang dibangun Nabi Muhammad memiliki visi yang ideal, dengan berawal dari internalisasi kesalehan individu lalu penanaman kesalehan social, membangun sistim komunikasi vertical dan horizontal yang efektif, dan menyusun aturan universal yang bersifat homogen tapi dapat mengakomodir aspirasi heterogen. Keteraturan dan ketertiban, keadilan, kesejahteran, serta keharmonisan masyarakat adalah suatu prototype masyarakat yang diajarkan oleh Islam.


III. PENUTUP/KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan yang sederhana tersebut, maka dapatlah ditarik titik simpul dari permasalahan yang dikaji, yaitu:
1. Term masyarakat dalam al-Qur’an ditemukan beberapa qawm, ummah, sya’b, qabail, jami’ah, dan seterusnya. Term-term tersebut memiliki makna yang berindikasi pada kolektifitas manusia. Akan tetapi, setiap istilah tersebut mempunyai kandungan makna yang bercirikan tentang situasi dan kondisi masyarakat.
2. Prototype masyarakat menurut Islam terbangun atas prinsip-prinsip keadilan, syura (masyarakat), persamaan, kebebasan, tauhid, universalitas, supremasi, keabadian, pemerataan, keadilan, transparansi, merdeka dan bebas, kebersamaan dan loyalitas, persaudaraan dan kemanusiaan, dan seterusnya. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi kata kunci keberhasilan Rasulullah Saw. dalam membangun masyarakat Madinah.



DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas, Sabtu, 27 Februari 1999
Ahmed, Akbar S., “Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise”, diterjemahkan oleh M. Sirozi dengan judul Posmodernisme– Bahaya dan Harapan bagi Islam, (Cet. I, Bandung: Mizan, 1993)
Arkoun, Mohammaed, “Rethinking Islam Today”, diterjemahkan oleh Ruslani dengan judul Islam Kontemporer–Menuju Dialog Antar Agama, (Cet. II, Yogyakarta: 2005)
Baidan, Nashruddin, Tafsir Maudhu’I–Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kontemporer, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Campbell, Tom, Seven Theories of Human Society, (London: Oxford University Press, 1981)
Dahrendorf, Ralf, Life Chances–Approaches to Social and Political Theory, (Chicago: University of Chicago, 1979)
Darmansyah M., Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional, t.th)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Fazlurrahman, Major Themes of the Qur'an, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980)
Francis Fukuyama, “The Great Disruption–Human Nature and the Reconstitution of Social Order”, diterjemahkan oleh Masri Maris dengan judul Guncangan Besar–Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, (Cet. I, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2005)
Gazalba, Sidi, Masyarakat Islam–Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Cet. II, Jakarta: Bulan Bintang, 1989)
Hidayat, Komaruddin, Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Tanggal, 25-26 September 1998
Hodgson, Marshall G.S., “The Venture of Islam – Conscience and History in a World Civilization”, diterjemahkan oleh Mulyadri Kartanegara dengan judul The Venture of Islam – Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jilid I, Buku Kedua, (Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2002)
http://gaulislam.com/Konsep Civil Society dalam Konsep Islam – Sebuah Tinjauan Edeologis/05/04/09.
Huntington, Samuel P., “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, diterjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Cet. V, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002)
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Cet. I, t.t.p.: Salahuddin Press kerja sama Pustaka Pelajar, 1994)
Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Kebudayaan dan peradaban Ulumul Qur’an, no. 2/ VII/ 1996
Mufid, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang", Tanggal, 25-26 September 1998
Nurdin, Ali, dkk., Qur’anic Society–Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, (Surabaya: Erlangga, 2006)
Okbah, Farid Akhmad, Cita-Cita Islam dalam Membentuk Masyarakat Qur'ani, diposting dalam http::/alislamu.com/05/04/09
Qardhawy, Yusuf al-, “’Amtana Baina Qarnain” diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul Islam Abad 21–Refleksi Abad 20 dan Agenda Masa Depan, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001)
----------, Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah, diposting dalam www.isnet.org/06/04/09
----------,…(et.al.), “As-Shahwatul Islamiyah Ru’yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili”, diterjemahkan oleh Moh. Nurhakim dengan judul Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar, (Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2002)
----------, Agama dan Masyarakat Madani, diposting dalam www.geocities.com/06/04/09
Rakhmat, Jalaluddin, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, (Cet. II, Bandung: Mizan, 2007)
Sardar, Ziauddin, “The Future of Muslim Civilisation, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Cet. II, Bandung: Mizan, 1989).
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah – Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2 & 6, (Jakarta: Lentera, 2000)
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an – Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. X, Bandung: Mizan, 2000)
Soekanto, Soerjono, Sosiologi – Suatu Pengantar, (Cet. VII, Jakarta: UI-Press, 1970)
Soelaeman, M. Munandar, Ilmu Sosial Dasar–Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Edisi Revisi, (Cet. VI, Bandung: Eresco, 1992)
Suhayli, ‘Abd al-Rahman al-, al-Radh al-Unuf, ed. ‘Abd al-Rahman al-Wakil, (t.tp.: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th.)
Suprayogo, Imam, Membangun Masyarakat dengan Pendekatan Prophetik, diposting dari www.imamsuprayogo.com/07/04/09
Tilaar, H.A.R., Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia – Tinajaun dari Persfektif Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007)
Zuhaili, Wahbah al-, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Cet. II, t.t.p.: Darul Fiqri, 1979)

1 komentar: